Monday, October 24, 2005

Takut Dicopot, Mendiknas Pasang Iklan Sehalaman

HARI ini Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo melakukan blunder dengan pemunculan iklan satu halaman di sebuah harian Ibukota. Substansi iklan tersebut antara lain klaim keberhasilan Mendiknas memajukan dunia pendidikan selama setahun masa kerjanya di Kabinet yang dipimpin Presiden SBY.
Mengapa saya katakan blunder? Sebabnya sederhana, apa yang dibeberkan di iklan senilai ratusan juta perak itu sejatinya hanya bualan semata. Tidak menjelaskan apa-apa kecuali pengakuan sepihak bahwa mereka di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah bekerja serius membenahi dunia pendidikan yang carut marut dan upaya itu sukses hanya dalam hitungan setahun. Siapa percaya kinerja dia sehebat itu.
Faktanya, antara klaim Mendiknas dengan apa yang terjadi dalam dunia pendidikan nasional ibarat langit dan bumi, jauh bahkan sulit disambungkan dengan pesawat ulang-alik canggih sekalipun.
Orang dungu sekalipun mafhum, biaya pendidikan di negeri ini mahalnya bukan kepalang. Bagi orang berpenghasilan pas-pasan sungguh biaya pendidikan itu setali tiga uang dengan harga barang-barang pasca kenaikan BBM, sama-sama meroket. Apalagi buat yang tidak berpenghasilan, mengenyam pendidikan murah terjangkau hanya ada di SCTV, yakni di acara "Mimpi Kali Ye?"
Tidak perlu bicara berapa biaya di sekolah swasta. Kita tengok sekolah negeri yang gaji guru dan bangunannya dibiayai APBN. Di sebuah koran tempo hari pernah diberitakan biaya sekolah negeri yang kian mahal. Saking mahalnya sampai-sampai masyarakat bawah di Jakarta dan sekitarnya takut menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah negeri. Sekalipun lolos seleksi di sekolah negeri, ternyata banyak di antara mereka yang terpaksa meminta agar anak-anaknya melanjutkan pendidikan ke sekolah swasta papan bawah yang biayanya jauh lebih murah.
Di koran itu diceritakan nasib Fitariya (12), anak nomor lima dari tujuh bersaudara yang tinggal di Jalan Pembina III, Pramuka, Jakarta Timur, yang diterima di SMP Negeri 26, Jatinegara. Ia bersama ibunya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci sempat datang ke sekolah. Namun, Fitariya batal mendaftar ulang di sekolah tersebut setelah mendengar harus menyediakan biaya sekitar Rp 800.000.
”Bapak meninggal sejak saya kecil. Ibu saya tidak cukup biaya untuk uang sekolah dan ongkos naik bus tiap hari,” kata Fitariya. Ia akhirnya memilih bersekolah di sekolah swasta di Kayumanis, Jakarta Timur, dengan uang sekolah Rp 50.000 per bulan.
Beberapa anak lainnya bahkan tidak berani mengintip biaya yang harus dibayarkan untuk masuk sekolah negeri. Agung Pramana (13) yang diterima di SMP Negeri 137, dan Surtio Harda (13) yang lolos di SMP Negeri 14, membatalkan masuk ke sekolah tersebut karena takut akan besarnya biaya yang dikeluarkan.
David Khairullah (13), lulusan SD Negeri 02 Utan Kayu Utara, sebetulnya lolos ke SMP Negeri 7, Utan Kayu. Namun, karena pertimbangan biaya, David akhirnya mendaftar ke SMP Pembangunan, Utan Kayu, yang dapat ditempuh berjalan kaki.
”Saya mendengar dari saudara saya yang baru lulus dari sekolah itu iuran bulanannya sekitar Rp 80.000 dan uang masuknya Rp 800.000. Takutnya orangtua saya tidak mampu dan malah memberatkan keluarga. Teman saya, Fami, yang tinggal di Gang Kamboja juga diterima di SMP Negeri 97 tetapi tidak diambil takut biayanya mahal,” katanya sambil menimang kertas kecil yang menunjukkan bahwa dia resmi diterima di SMP Negeri 7. David sama sekali tidak datang ke SMP Negeri 7, sekalipun sekadar untuk menanyakan biaya yang bakal ia keluarkan kelak.
Di SMP Pembangunan yang dipilihnya tersebut biayanya jauh lebih murah. Sumbangan awal bagi murid baru hanya Rp 100.000, biaya formulir Rp 20.000 dan iuran sebulannya Rp 55.000. Totalnya, untuk menjadi siswa baru di sekolah swasta tersebut, David hanya mengeluarkan Rp 175.000, seterusnya dia tinggal membayar iuran bulanan. Untuk buku pelajaran dapat menyewa di sekolah dengan biaya murah.
Ibu David, Ny Suryati (44), mengungkapkan bahwa ia dan suaminya menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada putranya. ”Kalau uang masuknya hampir satu juta, jelas kami tidak mampu. Apalagi kakaknya juga baru masuk sekolah menengah kejuruan,” katanya.
Alhasil, apa yang dikoar-koar Mendiknas di iklan satu halaman hanyalah omong kosong. Meski salut juga atas keberaniannya membeli "space" iklan senilai ratusan juta demi meyakinkan SBY bahwa kalau ada resafel Kabinet jangan sampai kena ke dia, toh sudah berprestasi hebat selaku Mendiknas.
"Kalau ada pergantian menteri, biar yang lain saja yang diganti, jangan saya. Buktinya iklan ini, hebat kan saya?". Begitu kira-kira maksud Bambang Sudibyo dengan pemunculan iklan noraknya itu.
Gilingan!
Abah Epoy, sumber: KCM 25 Juli 2005.

No comments: