Monday, November 17, 2008

Weleh..weleh...duh gusti...

Sering kali aku berkata,
ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika semua itu diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja
untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,

Seolah ...
semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah ...
keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan Kekasih.

Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti,

padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja"
(WS Rendra).

Saturday, September 06, 2008

Artis di Pilkada

Tidak ada yang melarang siapa pun menjadi pejabat pemerintah atau anggota parlemen. Semua boleh selama ada yang sudi memilih. Tidak terkecuali artis. Baik artis yang bayaran perjamnya setara senior manager di perusahaan nasional, maupun penghibur yang didera sepi order, semua berhak dipilih.

Soal kompetensi dan kapabilitas tidak usah terlalu dipikir. Toh semua bisa dipelajari. Apalagi masyarakat mafhum, politisi yang sejak mahasiswa kenyang makan asam garam dunia politik dan kekuasaan pun kualitasnya banyak yang memble pas mereka menjadi menteri atau anggota DPR.

Banyak yang mencibir tren artis mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) belakangan ini. Bisa apa mereka. Pelawak yang melawak saja tidak lucu, mana mampu menyambung lidah rakyat di DPR. Bintang sinetron yang aktingnya pas-pasan sudah pasti kebingungan jika diberi peran nyata menjadi Bupati atau Wakil Bupati sekalipun. Begitu kira-kira suara para pengecam tren artis maju di pilkada.

Padahal, kalau dipikir para pengecam itu juga tidak fair. Biarkan saja para artis maju di pilkada. Jika mereka tidak terpilih, berarti rakyat memang meragukan kemampuan mereka di panggung politik setara keahlian di dunia hiburan.
Sebaliknya, jika mereka terpilih itu artinya rakyat percaya, di samping sudah sebal dengan lagak laku politisi sekarang, entah anggota DPR atau pejabat pemerintah.
Alhasil, tren ini tidak perlu dibuat heboh. Apalagi, dengan memberi ruang kepada artis untuk menjadi pejabat berarti aktivitas mereka di pentas seni (seni peran, seni suara, seni apa saja) berkurang atau berhenti total. Ini artinya peluang buat artis pendatang baru untuk tampil. Ujung-ujungnya angka pengangguran kan sedikit bisa ditekan.
Begitu pakdhe, mbokdhe...
***
posted by abah

Thursday, August 14, 2008

Bush Kecam Invasi Rusia ke Georgia

Presiden AS George Walker Bush mengecam keras penyerbuan tentara Rusia ke Georgia. Menurut Bush, invasi tersebut tidak bisa dibenarkan karena melanggar kedaulatan negara lain serta mengancam kemanusiaan. Bersama Inggris Bush mendesak Rusia menarik pasukannya dari negara tersebut.

Berita yang saya lihat di layar CNN beberapa hari lalu benar-benar membuat saya tergelak. Lucu karena apa yang dipertontonkan Bush dalam pidato yang diliput wartawan dari pelbagai media massa tersebut nyata-nyata menunjukkan betapa dungu pemimpin Negara Adikuasa ini. Dungu karena orang di seluruh muka bumi yang menyaksikan tayangan tersebut akan langsung mengingat Irak, negara yang kini hancur lebur karena diserbu AS.

Benar, Rusia tidak terpuji menyerang negara tetangganya. Namun apa yang dilakukan AS di Irak sunguh sangat biadab. AS menyerang dan menghancurkan Irak. Setelah hancur, rakyat Irak terlibat perang saudara. Bom meledak di mana-mana setipa jam dalam setiap hari. Apa yang dialami rakyat Irak pasca serangan tentara AS adalah tragedi atas nilai-nilai kemanusiaan.

Belum lagi negara lain korban AS sebelum Irak, semisal Afghanistan, yang bentuknya saja sudah tidak karuan akibat bom yang meluluhlantakkan negeri gurun penghasil opium tersebut. Pemicunya sederhana, Bush berpendapat negara tersebut menyembunyikan Osama bin Laden yang dituduh berada di balik serangan atas menara kembar WTC di New York dulu sehingga pantas dibom dan dihancurkan.

Bush memang busuk, karena apa yang keluar dari mulutnya selalu berbau tidak sedap. Mengecam aksi serangan yang dilakukan negara lain, sementara dirinya tidak pernah segan memerintahkan serdadunya menyerbu atau mengebom negara lain. Bush tidak peduli serbuan tentaranya menyebabkan kerusakan tak terperi dan kematian jutaan rakyat yang tidak pernah melakukan kesalahan apa pun terhadap Amerika atau bahkan kepada Bush...

***

Wednesday, July 16, 2008

Menjadi Ibu Rumah Tangga, Berani?

Dilema perempuan yang memilih berkarir sebagai ibu rumah tangga atau di luar rumah selalu saja aktual. Sahabat bernama Bayu "Gaw" Gawtama, CEO School of Life - SOL) berbagi cerita dengan kita di sini, tentang perempuan yang memilih meninggalkan karir cemerlang di sebuah perusahaan karena ingin bekerja "full-time" sebagi ibu rumahtangga di rumah...
Pengunjung Warung-Abah yang baik hati, selamat menikmati "olah kata" Gaw berikut ini...

***

Seorang sahabat mengungkapkan rencananya untuk mengundurkan diri dari perusahaan tempat kerjanya. Ia merasa tidak takut meninggalkan karirnya yang sudah belasan tahun dirintisnya dari bawah. “sayang juga sebenarnya, dan ini merupakan pilihan yang berat, terlebih ketika saya merasa sudah berada di puncak karir,” ujarnya.

Lalu kemana setelah resign? “yang ada di pikiran saya saat ini hanya satu, menjadi ibu rumah tangga. Sudah terlalu lama saya meninggalkan anak-anak di rumah tanpa bimbingan maksimal dari ibunya. Saya sering terlalu lelah untuk memberi pelayanan terbaik untuk suami. Bahkan sebagai bagian dari masyarakat, saya sangat sibuk sehingga hanya sedikit waktu untuk bersosialisasi dengan tetangga dan warga sekitar”

Tapi, ibu nampaknya masih ragu? “bukan ragu. Saya hanya perlu menata mental sebelum benar-benar mengambil langkah ini”.
“Rasanya masih malu jika suatu saat bertemu dengan teman-teman sejawat atau rekan bisnis. Saya belum menemukan jawaban yang pas saat mereka bertanya, “sekarang Anda cuma jadi ibu rumah tangga?”

Saya tersenyum mendengarnya, mencoba memahami kesesakan benaknya saat itu. Teringat saya dengan seorang sahabat lama yang saat di sebuah forum wanita karir di Jerman lantang menjawab, “profesi saya ibu rumah tangga, jika diantara para hadirin ada yang mengatakan bahwa ibu rumah tangga bukan profesi, saya bisa menjelaskan secara panjang lebar betapa mulianya profesi saya ini dan tidak cukup waktu satu hari untuk menjelaskannya”.

Luar biasa. Sekali lagi luar biasa. Saya harus hadiahkan acungan jempol melebihi dari yang saya miliki untuk sahabat yang satu ini. Saya tuturkan kisah ini kepada sahabat yang sedang menata hati meyakinkan diri untuk benar-benar menjadi ibu rumah tangga, bahwa ia takkan pernah menyesali pilihannya itu. Kelak ia akan menyadari bahwa langkahnya itu adalah keputusan terbaik yang pernah ia tetapkan seumur hidupnya.
Naluri setiap wanita adalah menjadi ibu. Adakah wanita yang benar-benar tak pernah ingin menjadi ibu?
Percayalah, pada fitrahnya wanita akan lebih senang memilih berada di rumah mendampingi perkembangan putra-putrinya dari waktu ke waktu. Menjadi yang pertama melihat si kecil berdiri dan menjejakkan langkah pertamanya.
Ia tak ingin anaknya lebih dulu bisa berucap “mbak” atau “bibi” ketimbang ucapan “mama”. Tak satupun ibu yang tak terenyuh ketika putra yang dilahirkan dari rahimnya lebih memilih pelukan baby sitter saat menangis mencari kehangatan.
Ibulah yang paling mengerti memberikan yang terbaik untuk anaknya, karena ia yang tak henti mendekapnya selama dalam masa kandungan. Sebagian darahnya mengalir di tubuh anaknya. Ia pula yang merasakan perih yang tak tertahankan ketika melahirkan anaknya, saat itulah kembang cinta tengah merekah dan binar mata ibu menyiratkan kata, “ini ibu nak, malaikat yang kan selalu menyertaimu”.

Cintapun terus mengalir bersama air kehidupan dari dada sang ibu, serta belai lembut dan kecupan kasih sayang yang sedetik pun takkan pernah terlewatkan.
Ibu akan menjadi apapun yang dikehendaki. Pemberi asupan gizi, pencuci pakaian, tukang masak terhebat, perawat di kala sakit, penjaga malam yang siap siaga, atau pendongeng yang lucu. Kadang berperan sebagai guru, kadang kala jadi pembantu. Jadi apapun ibu, semuanya dilakukan tanpa bayaran sepeserpun alias gratis.
Sahabat, bukan malu atau bingung saat harus berhadapan dengan rekan bisnis. Katakan dengan bangga baru sebagai ibu rumah tangga. Sebab sesungguhnya, mereka pun sangat ingin mengikuti jejak sahabat, hanya saja mereka belum mengambil keputusan seperti sahabat. Tersenyumlah karena anak-anak pun bangga dengan langkah terbaik ibunya. –Gaw, 2008-

Thursday, July 03, 2008

Nah, ini dia...

Kea'zia Yasmina Frida
Dik Frida, kami memanggilnya. Sebetulnya setelah adiknya, Rayya Aisha lahir dia ingin dipanggil Teh Frida. Kok nggak dipanggil mbak Frida?

"Males ah, enakkan teh Frida aja," tegasnya.

Frida lahir di Jakarta 7 November 2001. Entah karena kesamaan bulan lahir --November--atau karena memang sudah satu sifat anak dan bapak (like father like daughter), Frida dan sang abah memiliki beberapa kemiripan baik sifat maupun selera .

Frida Senang musik, abahnya juga. Nasyid suka, musik pop jadul juga oke. Dik Frida mudah "pundung" (ngambek), abahnya juga mutungan. Dik Frida sayang sama Umminya, abahnya juga (oooppss...jangan ge-er dulu ya Ummi Nur)


Frida juga suka menari. Abahnya suka joget ala pendekar mabuk (drunken master). Kalau di rumah, kami bisa berlama-lama lenggak-lenggok menari dengan gaya aneh sekenanya diiringi musik dari MP3 player. Tarian kami bebas 'aja. Kadang gaya 'mencuci baju', kadang meniru Kadir lengkap dengan aksi "merem-melek", atau adegan 'mencangkul di sawah'...Pokoknya seru dan bikin capek deh! Dan yang terpenting, jangan ada yang melihat, karena ini tarian khusus kami sekeluarga...Orang lain, punten, tidak boleh tahu kami joget... Yang jelas, kami belum berhenti berjoget kalau UmmiNur belum tertawa...

Oya, sebelum dik Rayya lahir, dik Frida punya pipi tembem, ketembeman pipinya dibanding pa***t bedanya tipis. Makanya abah suka tanya sama dik Frida, "dik, ini pipi apa pa***t?" Wak..kak..kak...Habis itu mendarat deh ini muka di pipinya yang mentul-mentul... mmuah kenceng sampai adik nangis bombay...

Sayangnya, belakangan batuk-batuk dik Frida kembali kumat. Selera makannya menurun drastis. Makan agak banyak langsung mual dan muntah. Jadinya dik Frida mirip burung Kutilang (kurus, tinggi, langsing). Padahal, Umminya malah tambah melaaar ke samping... wak..kak..kak... maaf ya mi, abah kan ngga bilang Ummi gendut, cuma melebar ke samping... he..he...

Jujur saja, dik Frida punya raut wajah manis. Malah kalau berjilbab dik Frida juga jauh lebih cantik, ngga cuma manis... (Deu...namanya juga anaknya, siapa lagi yang memuji kalau bukan abahnya.. tul ga sodara-sodara?). Lha, tapi Frida juga pede abis. Coba aja tanya, apa adik cantik? Pasti jawabannya "cantik...!"

Dik Frida atau Teh Frida juga cerdas. Meski masih agak-agak lugu khas balita, di kelas termasuk cukup menonjol prestasi belajarnya. Kenaikan kelas kemarin raportnya bagus, dapat ranking ke-3. Yah, turun sih, semester awal rankingnya ke-2, tapi lumayan lah.

"Daripada ranking lima atau bahkan sepuluh, masih mending ranking tiga kan bah?" kata Frida ngeles.
Benar juga sih dik. Lagi pula, ranking tiga bukan hal buruk. Insya Allah, jika belajarnya lebih giat lagi ranking pertama pun bukan hal sulit buat adik cantik. Nanti kalau kelas dua nilai raport dan rankingnya lebih bagus lagi ya.. Tambah rajin belajar, ngocolnya dikurangi, jangan keseringan main Barbie... Abah sayang banget sama adik...I Love You....
mmmmmuuaaaachhhh...
Haidar Zein
Nah, kalau yang ini tentang kakaknya dik Frida, namanya Haidar Zein. Gayanya kalau di rumah paling kalem (woalah...tambah gede tuh hidung dibilang kalem... Maksudnya Kayak Lembu Mrongos ngos Aa...). Apalagi kalau pas ada film CARS di Astro TV. Dijamin si Aa jadi anteng, camilan pasti ludes. Remote control juga sudah pasti tambah basah diemut habis..wak..kak...kak...

Berbeda dengan adiknya, Haidar atau biasa disapa Aa Zen, tidak begitu suka berbasa-basi. Perhatiannya pada segala jenis mobil sangat besar. Maunya hapal semua merek mobil. Mainan pun kebanyakan mobil-mobilan...Mulai yang warnanya kinclong kayak McQueen hingga yang bulukan dan berkarat kayak si Tow Matter dan mobil karatan gerombolan mobil Rusteeze...he..he...(btw, kenal nama-nama tsb kan? Itu tuh, tokoh-tokoh di film the CARS produksi PIXAR-Disney).

Alhamdulillah, Aa Zen juga termasuk pandai di sekolahnya. Meski seperti dik Frida, ranking Aa pas kenaikan kelas juga melorot ke urutan 4 dari ranking 3 di semester awal. Tapi tidak perlu berkecil hati lah yaw. Aa sebetulnya pintar. Namun penyakit bengong dan ngowohnya itu lho yang mesti dikurangi...

Aa Zein agak acuh tak acuh. Jangan pernah bertanya dua kali untuk hal yang sama kepada Aa Zein. Bisa dicuekin 'abis... Meski begitu, Aa sangat sayang sama kedua adiknya. Yah, kalau soal usil sama adiknya itu mah biasa. "Asal jangan keseringan aja ya A...bisa rame atuh..."

Haidar termasuk anak tipe "fast learner", diajari apa aja cepat mengerti. Andai sifat cueknya dikurangi, bisa jadi dia akan selalu ranking pertama di kelasnya. Beneran loh, kagak nyombong..


Dia juga suka sekali main game, baik di komputer atau laptop maupun di gamewatch dua puluh rebu perak yang dibeli di warung Abah Aen (ini bukan Abah Epoy, sama-sama panggilannya abah, tapi beda banget). Dalam hal ini si abah agak segan mengenalkan Aa dengan Playstation. Bisa addict, 'ngeri deh...ntar si abah tambah dicuekin kalau Aa sudah kecanduan PS...

Nah, kalau di bawah ini foto Rayya Aisha di usia enam bulan. Dik Aya, ini panggilan sayang kami di rumah, lahir 24 Desember 2007. Subhannallah...semakin hari Aya semakin lucu aja. Ketawanya, ulahnya kalau lagi ngangkat kaki berulang ulang, atau gayanya pas berguling cepat... membuat kami betah berlama-lama di dekat dik Aya...

Tapi kalau punya buku bagus jangan dekat-dekat dik Aya. Sebab si bungsu ini punya kebiasaan buruk ngemut buku atau apa saja sampai meleleh basah...Selebihnya hanya lucu dan kocak yang kami temui pada diri dik Aya...

Dulu kalau lagi bete di rumah, paling muring-muring, atau pergi naik motor cari makanan ringan. Belakangan, kalau lagi jengkel si abah sudah punya solusi. Main saja sama Aya, tatap ekspresi wajahnya yang lucu. Dijamin kemarahan mereda.

Ya Allah, ya Rabb...limpahkanlah keberkahan kepada keluarga kami. Jadikan kami orang-orang yang pandai mensyukuri nikmat dari-Mu. Tempatkanlah kami bersama orang-orang yang senantiasa tawakal di jalan yang engkau ridhoi...
amiin...

Thursday, June 12, 2008

Bersama Kita Bisa Sama-sama Konyol

Sudah menjadi hukum alam, sebuah aksi akan mengundang reaksi. Aksi konyol direspon dengan kekonyolan, hanya akan menimbulkan rentetan kekonyolan baru. Demikian yang terjadi belakangan ini.

Kekonyolan pertama dipertontonkan sekelompok orang yang mengaku pendukung kebebasan beragama berbendera AKKBB menggelar aksi menentang pelarangan Ahmadiyah. Mereka menganggap Ahmadiyah bukan sekte sesat dan patut dibela. Konyol karena sebagian dari mereka bukan penganut Islam, namun merasa tahu soal urusan Ahmadiyah. Mereka konyol mencampuri internal umat Islam yang tengah resah karena penistaan ajaran Islam oleh penganut Ahmadiyah.

Kekonyolan ini mengundang kekonyolan kedua; aksi pemukulan oleh kelompok massa FPI. Kedua kelompok berseberangan pendapat, namun konyolnya, yang diperagakan aksi kekerasan fisik (kasusnya dipopulerkan media massa sebagai peristiwa Monas).

Ini menimbulkan kekonyolan baru; peliputan media massa cetak, internet, dan elektronik secara berlebihan. Semua media, besar maupun gurem melaporkan peristiwa Monas dalam headline mereka setiap hari. Para wartawan, seakan tengah didera wabah “mati angin”, melaporkan peristiwa Monas dari pelbagai aspek setiap hari. Tidak ketinggalan kelompok infotainment, semua menempatkan kasus ini sebagai fokus liputan. Koran dengan pendapatan iklan terbesar hingga tabloid yang “terbit Senin-Kamis” setiap hari mem-“blow-up” peristiwa Monas sebagai headline berhari-hari.

Ini bentuk kekonyolan yang dipamerkan media massa. Demikian pula stasiun teve, mulai dari yang bertabur iklan, hingga stasiun teve yang megap-megap mengais iklan, rame-rame mengulang tayangan peristiwa Monas di layar kaca. Mereka juga konyol, sebab sebetulnya masih banyak peristiwa lain yang patut mendapat tempat terhormat sebagai headline, misalnya dampak kenaikan BBM yang berpotensi memicu krisis ekonomi, nasib korban Lapindo, atau penanganan kasus korupsi.

Karena media massa secara konyol mencurahkan seluruh ruang untuk meliput habis-habisan peristiwa ini, muncul kekonyolan susulan. Yakni reaksi pemerintah yang berlebihan dan tidak masuk akal; Presiden, Wapres, menteri, anggota DPR, hingga Kapolri angkat bicara, bahkan sampai menggelar rapat khusus seakan-akan tengah membahas wabah ganas yang mengancam nasib jiwa seluruh jagat Indonesia.

Reaksi pejabat bisa dimaklumi, karena sudah tabiat mereka; hanya sudi merespon apa-apa yang tengah dipopulerkan media massa. Konyol karena para petinggi dan pejabat negara jadi tampak dungu dan seperti kurang kerjaan saling bersahutan angkat bicara menyoal peristiwa Monas. Mungkin pula mereka antusias demikian karena berharap dengan rame-rame konyol masyarakat menjadi lupa dampak kenaikan BBM.

Cukupkah sampai di sini semua kekonyolan itu? Rupanya belum, karena ada kekonyolan tambahan; sekelompok tokoh lokal tingkat kampung dan kecamatan tidak ingin ketinggalan bersikap konyol dengan mengerahkan pasukan jin dan laskar kebal senjata tajam untuk membubarkan FPI. Soal apa salah dan dosa FPI itu urusan belakangan, yang penting ikut-ikutan serbu, meski tampak konyol. Toh, panutan mereka di pusat juga sudah lebih duluan konyol.

Sementara di jalanan, di kampung-kampung, di pelosok kota, orang masih dengan penampilan seperti sebelum peristiwa Monas terjadi. Mereka kian lusuh, tatapan mata mereka juga semakin hampa akibat didera kesulitan hidup pasca naiknya harga BBM. Demikian pula di Porong, Jawa Timur sana, ribuan pengungsi korban banjir lumpur panas Lapindo semakin tidak mengerti mengapa para pejabat lebih riuh bersahutan membahas peristiwa Monas ketimbang serius memikirkan solusi atas nasib mereka. Rakyat pinggiran, mereka itu, juga bingung mengapa media massa lebih bernafsu mengupas peristiwa Monas. Apakah wartawan telanjur penat memberitakan nasib buruk mereka yang didera pelbagai kesulitan ekonomi?

Sungguh, nyata dan terang benderang benar, sebuah kekonyolan yang direspon kekonyolan lain senantiasa hanya akan menghasilkan bentuk kekonyolan baru, bahkan kedunguan. Ayo, siapa menyusul menciptakan kekonyolan lain? Bersama kita memang bisa sama-sama konyol dan dungu.

Thursday, April 24, 2008

Kata Dia, "SBY pinter nyanyi kok dikritik..."

Seorang pengusaha jamu menulis opini di koran. Ia menyayangkan masyarakat yang mengritik Presiden SBY karena lebih mementingkan membikin album lagu tatkala warga Porong, Sidoarjo, dibekap lumpur panas Lapindo.

Para pengritik, demikian sang tokoh mengulas, tidak bisa menghargai seni. SBY memiliki kepedulian menyalurkan bakat seni, mestinya diapresiasi tinggi. Apalagi tugas sebagai presiden sangat berat. Dia menyodorkan contoh para pemimpin dunia macam Ronald Reagan yang berlatar belakang aktor film ketika terpilih sebagai Presiden AS dulu. Rakyat AS, kata dia, sangat respek atas jiwa seni Reagan. Sederet contoh “pemimpin dunia berjiwa seni” disodorkannya untuk menguatkan pembelaannya pada Presiden yang pandai bernyanyi dan mencipta lagu.

Sayangnya, selain bertubi-tubi memuji SBY, penulis luput menyertakan bukti-bukti prestasi yang ditoreh Presiden. Alih-alih menyambut baik pengritik, penulis yang di setiap era selalu dekat dengan kekuasaan malah menuding rakyat tidak berjiwa seni dan tidak pandai menghargai Presiden yang pandai menyanyi dan mencipta lirik lagu.

Padahal, sebagaimana lazimnya kritik, apa yang meruyak di permukaan hanyalah lontaran pertanyaan sederhana. Yang diperlukan juga tidak banyak, cukup jawaban yang masuk akal. Bukan bersahut kritik apalagi lontaran cemooh. Dari sini, kalau memang benar penulis pengagum Presiden yang pandai menyanyi, jawab saja pertanyaan; sebegitu banyak waktu yang dimiliki SBY sehingga dia bisa menggarap album lagu bahkan hingga dua kali? Atau sebaliknya; sedemikian sibukkah sang Presiden hingga lumpur panas Lapindo luput dari perhatiannya?

Bukankah mereka yang terusir paksa dari desanya gara-gara banjir lumpur Lapindo juga rakyat SBY sama seperti penulis Opini yang pengusaha jamu? (Hati-hati lho, di antara ribuan rakyat terusir lumpur panas Lapindo bisa jadi ada konsumen setia jamu produksi perusahaan penulis..he..he...mana dong jiwa Customer Satisfaction anda wahai penulis nan budiman?)

Penulis mestinya mafhum, justru di kala SBY menyiapkan peluncuran album kedua, di media massa muncul berita seorang pedagang gorengan nekat bunuh diri karena tidak sanggup berdagang lagi akibat harga-harga tinggi. Di koran kabar kolaborasi rekaman musik SBY dengan Darma Oratmangun si penggubah lagu bersahut riuh dengan berita tentang antrean panjang jelata yang berharap dapat satu dua liter minyak tanah.

Belum lagi kasus gedung sekolah ambruk karena minimnya perawatan. Atau anak jalanan dan pengangguran yang bertambah berselang-seling dengan berita soal ancaman kelaparan akibat krisis pangan. Dalam perspektif ini sungguh sangat relevan menyoal lagak laku Presiden yang masih pede tampil di depan umum mendendangkan lagu (meski lagunya sendiri sangat idealis utopis memuja-muja kebesaran bangsa dan Tanah Air) sementara rakyat banyak hidup kesusahan bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan mendasar.

Alhasil, unek-unek tokoh yang identik dengan humor dan Museum Rekor Indonesia (MURI) mudah dibaca sebagai tipikal serapah seorang penjilat yang tengah berupaya memikat hati sang Tuan yang tengah duduk nyaman di singgasana. Barangkali saja si Tuan yang dalam hal ini dipuji sebagai mahluk langka (Presiden Penyanyi dan Pencipta Lagu) ini berkenan dan bersedia dijadikan sahabat sang tokoh.

Udah ah...jadi kemana-mana...

Friday, February 22, 2008

Celana Melorot

Ini berita dari Amerika Serikat, negara yang dikenal sangat liberal. Kota Alexandria dan Shreveport dua kota di negara bagian Louisiana, AS membuat peraturan baru: melarang remaja putra dan putri mengenakan celana melorot di bawah pinggang yang memperlihatkan (maaf) celana dalam mereka.

Peraturan itu, tulis Kantor Berita AFP Prancis pekan lalu, diterima secara bulat. Larangan ini lahir setelah warga memprotes gaya berpakaian para remaja, yang berjalan dengan celana melorot di bawah pinggang itu. Gaya tersebut, menurut Konselor Kota Alexandria, Louis Marshall, tidak sopan.

Louis Marshall, yang hidup dalam tradisi demokrasi, beruntung. Pelarangan itu sama sekali tidak menuai protes. Tidak ada aktivis yang menyatakan peraturan tersebut melanggar hak asasi manusia, antipluralisme, dan konservatif.

Bayangkan jika di Indonesia, negara yang baru saja menghirup udara demokrasi. Louis Marshall akan dikecam dan dianggap telah membunuh kebebasan individu untuk berkreasi. Keputusan pelarangan tersebut bahkan akan diejek sebagai 'campur tangan pemerintah terhadap hak pribadi warga negara'.

Ini yang terjadi di Indonesia. Pada Desember 2004, seratus hari pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kegusarannya atas tayangan televisi. Melalui Menko Kesra Alwi Shihab ketika itu, Presiden yang kuat memegang norma agama dan sosial itu meminta media televisi untuk tidak mempertontonkan pusar perempuan. "Itu sangat mengganggu," kata Presiden saat itu.

Pernyataan SBY itu baru sebatas permintaan, belum menjadi keputusan. Namun, tidak terlalu lama berbagai reaksi dari kalangan aktivis perempuan bermunculan dalam diskusi-diskusi dan tulisan di media massa. Mereka antara lain menyatakan, SBY telah melanggar prinsip demokrasi, terhadap hak asasi, dan kebebasan individu berekspresi.

Mereka menentang keras pernyataan SBY itu. Menurut mereka, apabila negara dibiarkan mengatur hak pribadi warga negara, di antaranya soal pusar tadi, maka demokrasi dan kebebasan individu untuk berkreasi, pun mati. Itu pulalah yang menjadi alasan mereka menentang Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi. Apabila disahkan, maka RUAPP tersebut akan mengatur tubuh perempuan demi kepentingan politik konservatif.

Alexandria dan Shreveport, dua kota di negara bagian Louisiana, AS, telah memberlakukan keputusan, yang melarang remaja putra dan putri mengenakan celana melorot. Keputusan itu disambut baik warga, yang sejak lahir telah menghirup udara demokrasi. Tidak ada yang protes dan menyebutnya sebagai antikebebasan berekspresi, antipluralis, konservatif, dan pertanda matinya demokrasi.

Demokrasi, sistem yang memiliki berbagai kelemahan, sesungguhnya tidak mati hanya karena pelarangan celana yang melorot dan pelarangan memperlihatkan pusar. Pandangan yang berlebihan terhadap demokrasilah apalagi membenturkannya dengan nilai-nilai di masyarakat, nilai-nilai agama, dan menyebutnya sebagai konservatif yang memungkinkan sistem itu kehilangan esensinya.

Di Alexandria dan Shreveport, remaja-remaja tidak lagi mengenakan celana melorot. Mereka tidak merasa menjadi konservatif apalagi antidemokrasi. Di Indonesia, para remaja bebas membiarkan (maaf) celana dalamnya menyembul. Inilah yang disebut para aktivis sebagai kebebasan berekspresi. Dan, para aktivis itu sangat takut demokrasi mati hanya karena remaja menutup pusarnya.

Oleh: Asro Kamal Rokan
source: www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=305781&kat_id=19

Menahan diri, bisakah

Bersabar. Sungguh sebuah kata yang mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan justru ketika kita memerlukannya. Itu yang saya alami Rabu petang (20/2) pas azan mahrib berkumandang.

Waktu itu semangat menggebu dipicu rasa kangen pada seisi rumah mendadak berubah menjadi rasa lemas berbaur dengan emosi karena dua buah hati tengah asyik di depan teve. Entah kenapa petang itu kedua anak melanggar SOP di rumah kami, yakni dilarang menyalakan teve pas azan sekaligus tidak ada tayangan teve sesudah maghrib kecuali hari libur.

Merasa paling benar, lantas keduanya diberi peringatan keras agar segera mematikan pesawat teve. "Jika tidak langganan Astro diputus, tidak ada acara nonton teve untuk waktu yang akan diatur kemudian," begitu kira-kira pernyataan yang terlontar malam itu.

Reaksi keduanya?
Si Aa langsung memasang ekspresi muka masam seraya beranjak ke kamar dan langsung menelungkupkan badan di kasur. Untung tidak ada aksi banting pintu seperti biasa kalau dia lagi ngamuk. Sementara si kecil masih bertahan di depan teve dengan dalih "habis ini udah kok bah."

Melihat "aksi pembangkangan" emosi pun meluap, dan tak tetahankan bentakan pun terlontar.
Astaghfirullah, lagi-lagi emosi tak terbendung. Si adik melengos dan ikut-ikutan kakaknya masuk kamar. Refleks tangan ini mematikan teve, mencabut kabel dari steker, dan melempar remote control ke keranjang cucian.

Persoalan beres? Rupanya tidak. Karena kini saya berhadapan dengan dua jiwa belia yang ngambek dan tidak habis pikir "kok nonton sebentar 'aja nggak boleh...", begitu kira-kira dalam benak Aa dan dik Frida.

Tidak mudeh memang menghadapi situasi ini. Seperti disinggung di atas, kesabaran mudah diucapkan, diyakini kebenarannya, namun justru sangat tidak mudah untuk melaksanakannya.

Alhamdulillah, keadaan tidak berlarut-larut. Keesokan pagi harinya Aa dan dik Frida bangun pagi dengan ceria, pergi mandi, sarapan segelas susu hangat, dan berangkat ke sekolah dibonceng ojek abah...

Kata Ummi Nur, sore sepulang sekolah kedua anak menanyakan perihal larangan nonton teve malam hari selain hari libur. "Teman Aa ada yang boleh nonton sampai malam kok Mi," kata si cikal Haidar.

Untungnya Ummi Nur dengan bijak menjelaskan, "Tentu saja, bisa jadi di rumah teman Aa boleh, masalahnya peraturan di masing-masing rumah kan bisa berbeda," kata Ummi. Ada yang sepakat membatasi acara nonton teve, ada pula yang membolehkan teve menyala sepanjang hari dan malam meski sedang tidak ditonton sekalipun.

Subhanallah, si Aa menerima penjelasan panjang lebar Umminya. Buktinya, wajah Aa, apalagi dik Frida, kembali sumringah tatkala abahnya pulang Kamis petang harinya. Alhasil, emosi yang sempat meruyak, kemarahan yang pernah tak tertahankan sebetlnya sia-sia jua. Toh, dua permata hati masih menyisakan ruang untuk sebuah logika berupa penjelasan dari kedua orangtuanya. Hal lain, mereka tetap saja polos dan pandai memaafkan abahnya yang suka tidak sabaran, mudah emosi...

Ya Rabb, masukanlah hamba ke dalam kelompok mereka yang selalu mengutamakan kesabaran dalam segala hal. Sesungguhnya engKau senantiasa bersama orang yang sabar...

Tuesday, February 12, 2008

"Idung Guede..."

"Eh..., katanya teh Frida, dik Aya hidungnya guede? bener nggak sih?" Coba 'aja tanya Aa Zen, barangkali bener.

Tapi kalau tanya Aa Zein kayaknya susah deh... Maklum saja, si Aa itu kalau yang tanya adiknya paling juga jawabannya.. "Tauk deh..." atau paling banter cuma manyun, sambil ngomel "..dasar cemplu, gitu aja ditanyain...".

Cuek memang si Aa ini. Meski begitu Aa setuju hidung dik Aya ga kayak hidung Petruk. Baru denger Petruk? Itu loh tokoh spesialis dagelan di kisah pewayangan tanah Jawa. Biasanya Petruk memerankan sosok bingungan, agak sok tau, tapi dikisahkan jujur. Katanya sih...kata pak dalang ki Manteb Utomo Sosrojoyo Nincak Sukro Ngaborolo Beak Kedjo Saboboko...

Yang jelas, kata Matra'i, Allah sungguh sangat piawai dalam merencanakan penciptaan setiap mahluknya termasuk yang ada di muka bumi. Dalam hal penciptaan hidung contohnya. Bayangkan, andai hidung diciptakan dengan lubang menghadap ke atas, misalnya, dipastikan setiap saat dunia akan gaduh karena suara orang bersin bersahut-sahutan, tanpa henti.

Gede-cilik, pesek-mancung, bulet-gepeng, selama masih memiliki hidung yang berfungsi baik sebagai alat utama penciuman dan pernafasan manusia sejatinya patut bersyukur. Lha, ketimbang ga punya hidung?

Alhasil, semuanya menjadi bermakna tatkala kita mampu mensyukuri segala sesuatu pemberian sebagai nikmat dariNya, termasuk hidung gede, yak dik Aya?
Nggih, sumuhun atuh abah, aya aya wae....

Monday, January 14, 2008

Jangan Bubarkan Lembaga Sensor

Tuntutan Masyarakat Film Indonesia agar Lembaga Sensor Film (LSF) dihapus sungguh menggelikan. Kendati demikian, bagi yang mencermati tren aktual perfilman nasional, ide penghapusan LSF yang mereka usung bukan hal aneh.

Maklum saja, film yang mereka buat hingga saat ini belum juga beranjak dari hal-hal berbau seks bebas (free sex) dan tahayul. Film karya anak muda “kreatif” yang katanya lulusan sekolah film luar negeri itu kalau tidak bertema percintaan remaja ala barat (lengkap dengan keberanian beradegan ciuman, free-sex), biasanya tentang hantu gentayangan, mayat bangkit dari kubur, dsb.

Masyarakat, khususnya para orangtua yang memiliki anak beranjak remaja, tentunya akan mengernyitkan dahi menyaksikan “kreativitas” pekerja film. Betapa tidak, film yang banyak dipuji sebagai karya kreatif ternyata belum juga beranjak dari eksploitasi pornogafi dan tahayul berbalut "suspense-horror" ala "Suster Ngesot" atau "Jelangkung" tsb.

Sepengetahuan saya, karakteristik film selain sebagai media hiburan juga memiliki kekuatan memengaruhi opini, sikap, bahkan perilaku penontonnya. Hal mana merupakan sebagian alasan masih diperlukannya LSF. Tentu masih ada sederet hal lain yang memperkuat argumen pentingnya mempertahankan keberadaan LSF. Itu semua demi kemaslahatan orang banyak ketimbang sekadar memuaskan obsesi segelintir sineas muda yang tidak ingin diatur dalam memuaskan selera semata.

Saran saya untuk para sineas muda, silakan berkarya secara lebih kreatif lagi. Syukur jika karya dimaksud juga mengandung unsur mendidik. Lumayan, buat penyegar dahaga bangsa yang sedang "sakit" ini. Bukan sekadar adegan percintaan anak muda yang "berani". Atau hantu jadi-jadian penyubur tahayul pemupuk sifat penakut. Intinya, tidak perlu merasa gerah dengan keberadaan lembaga sensor. Di sini anda masih tetap bebas berkreasi kok, selama tidak memaksakan nilai-nilai ke orang lain (masyarakat penonton film)...
@bah