Wednesday, October 05, 2005

Menteri Tidak Becus, Mengapa Harus Dipertahankan?

Pertanyaan ini pantas dilontarkan kepada penguasa Indonesia saat ini, yakni Soesilo Bambang Yudhoyono atau lazim disebut dengan singkatan tiga huruf: SBY. Orang semua mafhum, SBY kini memimpin Kabinet yang di awal pembentukannya setahun lalu diklaim sebagai para figur dengan kemampuan di atas rata-rata. Nah, karena selama setahun ini Kabinet tersebut tidak menunjukkan kinerja yang bagus, boleh dong kami sebagai rakyat menyoal keberadaan mereka di Kabinet. Masih layakkah mereka menjadi nahkoda di departemen atau instansi pemerintahan saat ini, mengingat kondisi perekonomian sebagian besar rakyat tidak semakin membaik?
Menko Perekonomian Aburizal Bakrie, misalnya, sebelum menjadi menteri dia adalah pengusaha yang juga sempat memimpin Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia. Aburizal yang di media massa kerap disebut Ical juga pengusaha yang tidak terlalu buruk. Antara lain dia mau menyelesaikan utang perusahaan yang dulu sempat mengharumkan namanya, Bakrie Brothers.
Akan tetapi kita sama-sama menyaksikan, Ical yang cukup jago berbisnis ternyata juga dibuat mati angin oleh ruwetnya persoalan ekonomi Indonesia. Alih-alih memimpin koordinasi tim ekonomi Kabinet, dia malah kerap membuat pernyataan blunder alias menampar muka sendiri. Belum lama ini di hadapan media massa Ical sesumbar bahwa dia optimistis angka inflasi 2005 tidak akan sampai dua digit, artinya di bawah 10 persen. Sementara keadaan saat ini inflasi justru sedang merayap mendekati 10 persen. Padahal, tahun 2005 masih akan melewati tiga bulan lagi, yakni Oktober, November, Desember.
Belum kering lidah Ical bilang begitu, muncul bantahan dari Bank Indonesia (BI), bahwa inflasi tahun ini kemungkinan menembus 12 persen. Pernyataan BI melalui Gubernurnya, Burhanuddin Abdullah, ini sejalan dengan komentar sejawat Ical di Kabinet, Sri Mulyani yang tengah menjadi Kepala Bappenas, bahwa inflasi satu digit nyaris mustahil.
Lha, mestinya kan mereka bukan orang yang asing satu sama lain, mengapa harus melontarkan pernyataan yang berbeda satu sama lain? Apalagi hal itu berkaitan erat dengan asumsi-asumsi yang akan dijadikan rujukan dalam setiap pembuatan kebijakan ekonomi oleh pemerintah.
Yang muncul ke permukaan adalah kenyataan bahwa Ical ternyata gagap dalam menyampaikan tren ekonomi makro di negeri ini hatta dia adalah koordinator bidang ekonomi di kabinet. Yang dibaca oleh orang awam adalah Ical tengah mempertontonkan dagelan ketoprak, yakni mengibur tanpa harus peduli substansi pesan. Terserah, yang penting rakyat terhibur meskipun pada saat yang sama rakyat juga terkibul. Padahal, orang bodoh sekalipun sadar yang namanya kenaikan harga BBM hingga seratus persen pasti akan melambungkan harga-harga segala barang kebutuhan. Kalau ini terjadi maka nilai mata uang pun akan banyak tergerus. Gejala apa ini namanya kalau bukan inflasi? Lalu, mengapa anda masih juga tega dan ngotot mengatakan inflasi tetap satu digit, Ical?
Ical juga melontarkan pernyataan bodoh saat pemerintah mengumumkan kenaikan harga gas untuk konsumsi rumah tangga. Waktu itu dia bilang, gas adalah bahan bakar untuk kalangan menengah ke atas, orang miskin tidak akan mampu beli gas. "Kalau tidak sanggup beli gas, ya pakai minyak tanah saja," ujarnya waktu itu. Ini jelas pernyataan bodoh, karena orang sekarang tahu persis minyak tanah pun di samping tidak murah, juga langka. Bagaimana bisa menawarkan minyak tanah yang mahal dan langka sebagai pengganti gas yang juga mahal? Bodoh sekali kalau mengikuti saran Ical, tidak membeli gas, tapi kemudian keliling kota membawa jerigen untuk mencari minyak tanah yang langka dengan harga dua kali lipat dari yang diputuskan pemerintah. Jelas komentar itu muncul dari ketidakpahaman Ical akan kondisi ril di lapangan, bahwa rakyat sejatinya sudah buang waktu banyak untuk menyaksikan polah para menteri khususnya Ical yang tidak bermutu.
Ah, keterlaluan SBY kalau menteri dengan kualitas seperti Ical tetap dipertahankan. Saya sendiri sejak awal meragukan, mengapa orang yang mengurus perusahaan milik sendiri saja tidak becus kok ya diserahi tanggung jawab mengurus ekonomi negara? Akan tetapi keheranan saya buru-buru mendapat jawabannya ketika saya teringat informasi setahun lalu, bahwa Ical adalah salah satu penyandang dana terbesar dalam kampanye SBY-JK untuk menggapai kursi RI-1.
Itu baru bicara satu orang dari satu perspektif. Masih ada angle lain tentang Ical. Belum lagi kalau kita bahas performance menteri lainnya. Belum lagi kalau kita bahas upaya pemberantasan korupsi yang masih jalan di tempat. Sebaliknya koruptor baru bermunculan bahkan lebih ganas dan terang-terangan, tidak di instansi pemerintah tidak di gedung DPR. Belum lagi kalau kita bahas sepak terjang mitra SBY, JK atau Jusuf Kalla. Yang satu ini terakhir juga jalan-jalan ke Afrika Selatan mengajak kerabatnya dari Makassar hingga 70 orang lebih dibiayai negara untuk bertemu dengan warga Afsel keturunan Makassar yang jadi ulama di sana. Ini murni perjalanan romantisme beraroma sektarian tapi diselubungi sentimen nasionalisme.
Tapi, ah, sudahlah. Toh SBY juga berkali-kali bilang sudah tidak peduli lagi dengan penilaian masyarakat tentang performance dirinya.
***
Abah Epoy 5 Oktober 2005

No comments: