Monday, October 10, 2005

Korupsi, Lain di China Lain di Indonesia

Pagi ini saya sempat bergidik tatkala membuka sebuah e-mail yang mampir di mailbox. Penjelasan dalam e-mail tersebut singkat, eksekusi sebuah keluarga terpidana korupsi di China. Betapa tidak menyeramkan, ada empat foto yang saya terima, masing-masing foto menggambarkan adegan dramatis seluruh anggota keluarga diikat, digiring, dan dibariskan oleh sepasukan tentara. Setelah itu satu per satu anggota keluarga apes tersebut ditembak mati, bahkan ada yang isi kepalanya sampai teburai timah panas yang ditembakkan dari jarak teramat dekat.
Saya tidak ingin berlama-lama berbagi cerita mengenai kengerian yang ditimbulkan setelah melihat foto-foto tersebut. Toh itu hanya akan membuat perut mual mules.
Saya lebih tertarik mencermati pesan yang melatarbelakangi beredarnya foto tersebut di dunia maya. Yakni keinginan si pengirim agar para penerima foto sudi membandingkan perbedaan “ibarat bumi dan langit” antara China dengan Indonesia dalam hal hukuman bagi para koruptor. Di China, siapa pun yang punya peluang berbuat korupsi pasti sudah dibekali semangat baja dan kehilangan urat takutnya jika dia tetap nekat melakukan korupsi. Tak heran, hukuman atas pelaku korupsi di China terbukti sangat ampuh meredam perilaku korup karena menimbulkan efek jera yang sangat efektif. Nasib koruptor yang tebukti bersalah sangat jelas seterang siang hari, yakni kepala pecah didor sepasukan petugas.
Lain di China lain pula di Indonesia. Korupsi di sini bukan hal menakutkan karena tidak ada sanksi yang tegas. Bahkan, alih-laih dicap sebagai perbuatan terkutuk dan memalukan, dalam beberapa kasus korupsi di sini justru menjadi tindakan yang prestisius, karena tersangka dan terpidana kasus korupsi bisa berubah menjadi selebritis, dikawal kesana kemari, diliput media massa tengah berbaring di sebuah rumah sakit mewah, dikalungi bunga pejabat daerah, dan hal lainnya. Koruptor di sini pada lain kesempatan juga bisa berganti baju menjadi pemilik yayasan yang menyantuni anak yatim, tokoh masyarakat yang getol membangun tempat ibadah, atau anggota dewan yang terhormat.
Kalaupun ada koruptor yang disidang, ujung perkara mudah ditebak, pasti akan berakhir “happy ending” minimal bagi para pihak terkait: terdakwa, hakim, jaksa, polisi, dan tentu saja media massa. Yang terakhir ini kerap memperlakukan terdakwa korupsi sebagai pihak yang tidak perlu dikucilkan meski perilakunya jelas-jelas korup. Kalau ada kesempatan, media massa tetap saja mengutip komentar koruptor untuk kasus-kasus tertentu.
Padahal, banyak yang sudah berteriak meyakinkan bahwa penyebab terpuruknya bangsa Indonesia melulu disebabkan perilaku korup para pejabat pemerintah yang menginjak-injak amanat rakyat, yakni mengawal upaya mulia menuju terciptanya masyarakat adil dan makmur bagi seluruh bangsa.
Alhasil, apa yang kerap dilontarkan pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum sebagai upaya pemberantasan korupsi hingga kini baru sebatas bualan di bibir saja. Sebuah ungkapan yang sejak sangat lama kehilangan makna.
***
Abah Epoy 10 Oktober 2005

No comments: