Monday, October 10, 2005

Bersama Kita Bisa (Menderita)

Jujur, semua pasangan calon presiden dan wakil presiden, dalam kampanye dulu, menghindari pertanyaan tentang kebijakan tidak populis.
Pertanyaan itu, misalnya, apakah mereka akan menaikkan harga BBM jika berkuasa nanti.
Jika terpaksa menjawab, mereka akan bersembunyi di balik kalimat strategis seperti, ”Jika itu pilihan terakhir, kami akan memastikan nasib rakyat kecil dinomorsatukan!”
Kita tidak tahu siapa yang paling berpengaruh dalam membuat formula keputusan kenaikan harga BBM 1 Oktober lalu. Namun, tetap sah kita beranggapan, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) sudah mengingkari harapan para pemilih. Ayo kita tanyakan kepada rakyat kecil, apa betul mereka mau memilih SBY-JK kalau mereka dulu tahu minyak tanah akan mengalami kenaikan tertinggi, 185,7 persen.
Tidak ada logika komunikasi politik apa pun yang bisa mendukung isi surat presiden sebagai iklan layanan pemerintah (bukan ”iklan layanan masyarakat”) di berbagai media cetak berjudul Kita Bantu Rakyat Miskin. Juga tidak jernih empati yang digunakan di dalamnya. Terus terang, di antara presiden, wapres, para menko, menteri, atau staf ahli menteri siapa yang masih menggunakan minyak tanah di rumahnya? Nihil! Jadi minyak tanah memang konsumsi rakyat kecil. Anehnya, jenis BBM ini yang dibombardir paling parah! Dari sisi mana bisa dikatakan kebijakan itu membantu rakyat miskin?

Tidak berempati
Bagaimana reaksi rakyat kecil atas kebijakan itu? Banyak yang apatis, tetapi banyak pula yang sinis dan mengatakan, ”Inilah perubahan yang dijanjikan SBY- JK saat kampanye dulu, hidup jadi lebih susah!”
Namun, secara umum gelombang amarah, pemogokan, dan demonstrasi terbukti tidak terjadi. Bagaimana tidak, pemerintah menggunakan taktik menaikkan BBM beberapa hari sebelum memasuki bulan puasa. Di bulan suci ini, baik fisik utamanya spiritual, mayoritas bangsa sedang berusaha menahan diri.
Meski demikian, dalam berbagai kesempatan suara-suara publik tetap terdengar lantang. Surat pembaca Endrobroto (Mana Minyak Tanahmu Pak Menteri Bakrie?, 5/10) mengingatkan Menko Perekonomian yang pernah menanggapi protes konsumen elpiji dengan pongah, ”Kalau enggak kuat beli gas, ya pakai minyak tanah aja.” Sekarang ia bertanya, Bapak Menko mau bilang apa lagi?, ”Kalau enggak kuat beli minyak tanah, pakai kayu bakar aja?”
Komentar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral juga serupa, dan mengatakan, ”Wajar kalau beli minyak tanah antre. Orang nonton bioskop saja antre!” Wapres tak mau kalah saat menanggapi para sopir angkutan umum yang mogok, ia menjelaskan, mogok di Indonesia tidak akan sama dengan mogok di luar negeri. Di sana mereka yang mogok tetap mendapat tunjangan sosial. Di sini jika mogok tidak bekerja, ya tidak makan.
Singkatnya, ada tiga ciri komunikasi politik pemerintah seputar kenaikan harga BBM. Satu, kurang mampu berempati. Dua, kurang berpikir logis; masa tidak melihat perbedaan antara antre beli minyak tanah untuk menanak nasi dan antre nonton bioskop. Tiga, alih-alih membahas pokok masalah (seperti masalah apa yang mendasari sopir angkutan umum mogok), malah menantang, mogok itu pasti akan berhenti sendiri!

Sosialisasi Depkominfo
Bagaimana dengan peyakinan model lain, yang secara salah kaprah sering dinamakan ”sosialisasi”? Depkominfo mengirim SMS ke sembarang pemilik telepon seluler dengan pesan yang terkesan mengeksploitasi pertentangan antarkelas (kaya-miskin). Pendekatan konflik sudah dimulai sejak iklan legitimasi kenaikan harga BBM sebelumnya.
Pakar perminyakan Kurtubi dan tokoh agama Aa Gym dili- batkan pula dalam iklan layanan pemerintah versi lainnya. Saya menduga (mungkin saya salah) Kurtubi dan Aa Gym tidak menyangka kenaikan harga BBM, khususnya minyak tanah, akan begitu dahsyat! Diperkirakan iklan itu dibuat 7-10 hari sebelum kenaikan harga BBM diumumkan. Apa perasaan jujur Kurtubi dan Aa Gym? Entahlah. Tetapi, simak komentar di internet, ”Mari kita bersabar menghadapi kenaikan harga BBM, begitu nasihat Aa Gym. Padahal ulama harusnya mencegah pemerintah menzalimi rakyatnya dengan cara itu. Tidak bisakah dicari solusi agar harga BBM tidak naik atau kalau naik jangan terlalu tinggi. Jangan sampai ulama justru jadi alat pemerintah menindas rakyat.”
Semoga Aa Gym bisa memahami karena banyak umat yang mengaguminya dan tidak rela melihat tokoh agama terlibat terlalu jauh dalam iklan layanan pemerintah versi Depkominfo.
Interpretasi publik sah-sah saja. Iklan itu memang menafikan wacana publik tentang alternatif kebijakan seperti penaikan cukai rokok; peningkatan pajak bagi kelompok dan barang mewah tertentu; penuntasan sita harta koruptor kakap, kasus BLBI sampai Pertamina; bahkan ke usulan penaikan bertahap harga BBM.

Tiada maaf
Saya mencatat tidak ada ”permohonan maaf” dari iklan layanan pemerintah soal kenaikan harga BBM. Tampaknya pemerintah merasa tidak pernah—langsung atau tidak—memelihara harapan rakyat pada masa kampanye dulu, pemerintah tak akan menaikkan harga minyak tanah sampai begitu tinggi!
Apa yang terjadi kini, uang makan kuli proyek tidak cukup untuk membeli nasi dengan lauk telur, atau rakyat yang mengambil kayu nisan kuburan untuk dijadikan kayu bakar, sepenuhnya salah rakyat sendiri; karena ingin melihat perubahan, tanpa tahu apakah perubahan ke arah kemajuan atau kemunduran.
Semoga SBY mendapat spirit bersikap tegas sebagai presiden pilihan 60 persen rakyat Indonesia (di luar golput) untuk tidak mau didikte IMF yang terbukti keliru resepnya mengatasi krisis ekonomi 1997-1998, dan malah mendesak pembuatan Undang Undang Migas yang mengikat kita awal November nanti, harga BBM di Indonesia harus mendekati harga minyak dunia.
SBY harus mampu mengatakan ”tidak” pada gagasan atau formula orang di sekitarnya yang mungkin lebih pro perusahaan minyak asing yang sudah siap-siap membuka jaringan pompa bensin di Indonesia daripada pro rakyat kecil yang kini mulai sibuk mengumpulkan kayu bakar.
***
Artikel oleh: Effendi Gazali, Koordinator Program Master Manajemen Komunikasi Politik UI

No comments: