Tuesday, September 29, 2009

Wartawan itu Karni Iyas

Karni Ilyas di kalangan media massa bukan nama asing. Selain pernah menjadi wartawan majalah Tempo, memimpin majalah Forum Keadilan, dia juga sempat menangani divisi berita SCTV dan ANTV. Kini namanya identik dengan TV One.
Banyak yang memuji Karni khususnya menyangkut cara dia menjalin relasi dengan tokoh kunci di pelbagai institusi, yang berbuah pada karya liputan eksklusif bagi media yang dipimpinnya. Sayangnya, belakangan tatkala pemberitaan penembakan tersangka teroris di Temanggung, Jawa Tengah hasil liputan tim redaksi TV One menuai cemooh, alih-alih mendapat pujian.
Betapa tidak. Selain terkesan direkayasa, penembakan yang berujung tewasnya tersangka teroris di sebuah rumah juga telanjur memberitakan informasi keliru.
Reporter TV One yang mendapat hak eksklusif membonceng rombongan polisi di Temanggung begitu gagahnya menyatakan sebagai yang pertama memberitakan tewasnya Noordin M. Top. Sayangnya, kegagahan itu berubah menjadi kekonyolan tidak sampai sehari dengan adanya klarifikasi bahwa yang tewas bukan Noordin M. Top.
Begitu populernya Karni, sampai-sampai Kompas yang dinilai sebagai trend setter media memuat wawancara khusus denan pria bernama lengkap Sukarni Ilyas ini. Kompas antar lain melaporkan betapa prigel dan renginasnya Karni dalam menjalin dan memelihara link dengan narasumber penting di Mabes Polri sehingga tim wartawannya selalu mendapat liputan eksklusif, termasuk dalam liputan penembakan teroris oleh Densus 88.
Terkait hal tersebut, entah disadarai atau tidak baik oleh Karni maupun wartawan Kompas, dalm wawancara tersebut nyata benar sampai di mana kebesaran jiwa Karni Ilyas. Tatkala Kompas menanyakan soal liputan penembakan di Temanggung yang ternyata salah. Karni berkilah "itulah, sudah saya bilang..."
Alih-alih mengakui secara jujur adanya kekeliruan akibat ketergesa-gesaan, Karni malah menyalahkan wartawan yang tidak lain tidak bukan adalah anakbuahnya. Bagus dan sangat elegan jika di sana Karni mengakui secara ksatria perihal "salah lapor" TV One tentang tersangka teroris yang ternyata bukan Noordin M Top merupakan kesalahan sekaligus tanggung jawabnya selaku pemimpin redaksi.
Tapi, Karni Ilyas juga manusia. Manusiawi sekali jika di tengah popularitasnya pantang untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan. Kendati hal tersebut agak memalukan dilihat dari etika...
***

Monday, July 20, 2009

Foto SBY target teroris

Lagi, Jakarta diguncang ledakan bom. Korban tewas dan luka-luka berjatuhan. Lokasi ledakan dua hotel di Ibukota yag sistem penjagaannya super ketat: JW Marriot dan Ritz Carlton. Pelaku peledakan sungguh biadab, sebb lagi-lagi nyawa hilang sia-sia...

Kasus ledakan bom kali ini lebih parahnya lagi selain menelan korban juga karena dimanfaatkan Presiden SBY (yang tengah siap-siap menjadi presiden lagi) untuk mengkerek popularitasnya. Mengenaskan, alih-alih memerhatikan korban dan mengemukakan tekad pemerintah untuk memberi rasa aman kepada masyarakat, SBY malah dengan emosional ikut-ikutan merasa terancam bom dan teror.

Lha, so what gitu loh pak Presiden.

Lucunya lagi, SBY mengaku diancam karena intelijen menemukan foto dirinya dengan bercak hitam di muka yang katanya itu adalah bekas peluru sbg bukti dirinya dijadikan sasaran tembak oleh orang...
hua..ha..ha...lelucon garing dari orang bergelar doktor...

Hanya aku yang boleh, orang lain tidak

Begitu kira-kira yang ada di benak orang-orang di jalanan, di lokasi antrean pelayanan umum, dan di banyak lagi tempat lain di mana-mana.

Di tengah padatnya lalu lintas Ibukota setiap hari, bunyi klakson berarti pertanda kendaraannya mesti diberi jalan. Yang diberi klakson ya harus mengalah.


Di trotoar pedagang kakilima dengan jumawa menggelar dagangan. Pejalan kaki tidak berhak menggunakan trotoar. Kalau cuma jalan kaki silakan saja di pinggir jalan. Motor atau mobil terpaksa merayap atau terkadang menghentikan kendaraan sebab jalan digunakan pejalan kaki yang trotoarnya dikuasai pedagang. Jalanan pun macet.


Di jalur yang sama angkutan umum (angkota) merasa berhak berhenti berlama-lama dengan alasan mencari nafkah. Meski lampu menyala hijau tidak peduli, asal penumpang tetap berdatangan. Nanti kalau angkotnya penuh baru beranjak. Meski lampu merah, biarlah angkotnya tetap melaju. Lampu merah buat yg lain aja, saya boleh maju terus. Begitu kira-kira di benak sopir angkot.


Pindah ke ruang tunggu di bandara, seorang ibu duduk santai di sebuah kursi. Asik baca koran, dua tas besar, satu keranjang, dan kesek oleh-oleh memenuhi tiga kursi di kiri kanannya. Sementara calon penumpang lain berdiri mematung kelelahan karena tidak kebagian lursi.
"Saya kan datang duluan, berhak menggunakan semua kursi di sini, meski sekadar buat menaruh bawaan.." demikian kira-kira dalam benak si ibu. Hanya saya yang boleh duduk nikmat, yang lain sori lah yaw, demikian kata hatinya.


Hal yang sama dengan bentuk dan lokasi agak berbeda terjadi di tempat lain. Orang lain tidak boleh buang sampah sembarangan, kecuali saya. Mereka yang melempar sampah dari dalam mobil di jalan tidk beradab. Kalau saya yang melakukannya, itu karena kepepet.

Menyalip mobil tiba-tiba dari arah kiri sah-sah saja saya lakukan. Tapi kalau orang lain yang melakukannya pada saya, awas ya, akan saya kejar sebab dia tidak punya sopan santun berkendaraan.


ces't la vie,


begitu kata ELP dalam lagu hits mereka yg melegenda...

Tuesday, April 14, 2009

Pemilu dan Tabulasi Lembaga Survey

Menyimak hasil sementara perhitungan perolehan suara partai politik peserta pemilihan umum (Pemilu) 2009 di pelbagai website saya jadi teringat divisi recruitment di sebuah perusahaan (demi alasan etika, tidak saya sebutkan nama perusahaannya).

Bagian recruitment perusahaan tsb saat merekrut calon karyawan dalam jumlah besar biasanya memasang iklan di koran dan di website perusahaan. Di tengah sulitnya lapangan kerja, bisa ditebak apa yang terjadi kemudian. Si petugas bagian SDM pasca pemasangan iklan di koran biasanya kerepotan menyortir berkas lamaran yang masuk.
Maklum saja, "jumlahnya bisa tiga karung surat lamaran sekali tarik pak," kata karyawan yang bertugas mengurus lamaran tsb dengan mimik wajah sama sekali tidak lucu.

Lalu, bagaimana cara dia menyortir?
"Biasanya sih kita acak 'aja. Yang lebih sering kami proses malah lamaran yang masuk lewat e-mail. Berkas lamaran yang masuk melalui kantor pos karena jumlahnya berkarung-karung yang terpaksa kita cuekin," ujar supervisor PT X tsb dengan nada suara tanpa penyesalan. Padahal belasan ribu rupiah dikorbankan para calon pelamar untuk mengirim lamaran via pos.

Meski menyebalkan, kelakuan si supervisor bagian HRD tsb sangat masuk akal. Kalau ada yang siap di mailbox, ngapain repot?
Kembali ke tabulasi pasca pemilu, prasangka sebagian pihak, termasuk tokoh Parpol yang gagal meraih suara banyak serta pengamat yang kecewa Parpol jagoannya terpuruk, soal kuatnya dugaan petugas penghitungan suara di KPU mulai keleleran harus memilah dan memilih serta menghitung kertas suara seukuran koran yang jumlahnya puluhan juta bisa jadi benar adanya.

Didera kepenatan akibat kerja lembur setiap hari, di internet petugas KPU bisa memanfaatkan data hasil perolehan suara yang dipublikasikan pelbagai lembaga survey. Wajar jika kemudian sebagian kalangan menuduh KPU hanya menyontek tabulasi lembaga survey.

Tuduhan yang absurd namun sangat memungkinkan terjadi di sini. "Ngapain repot, toh ada yang siap tayang?" Soal akurasi, siapa pula yang peduli, toh Parpol mana pun yang meraih suara terbanyak tidak akan ada perubahan signifikan?

Alhasil, bisa saja tabulasi pasca pemilu hanya menjustifikasi hasil penghitungan suara lembaga survey swasta. Padahal, selain tidak jelas siapa yang membayar mereka, untuk kepentingan siapa mereka bekerja, hasil yang disajikan lembaga survey tersebut pun hanya berupa sample, bukan jumlah suara ril hasil Pemilu 2009.
Nah lho?
***

Thursday, January 08, 2009

"Like Father Like Son"

Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun.
Tangan si kakek begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih.Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya.

Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah.

Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak. Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini.

"Kita harus lakukan sesuatu," ujar sang suami. "Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini."

Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek.

Sering saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Meski tak ada gugatan darinya. Tiap kali nasi yang dia suap, selalu ditetesi air mata yang jatuh dari sisi pipinya.

Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi.Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam.

Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu.

"Kamu sedang membuat apa?"

Anaknya menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu, untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan."

Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul.

Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmata pun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki.

Mereka makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama. Dan anak itu, tak lagi meraut untuk membuat meja kayu.

Sahabat, anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan.

Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari, setiap "bangunan jiwa" yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak.

Mari, susunlah bangunan itu dengan bijak. Untuk anak-anak kita, untuk masa depan kita, untuk semuanya. Sebab, untuk merekalah kita akan selalu belajar, bahwa berbuat baik pada orang lain, adalah sama halnya dengan tabungan masa depan.

Jika anak hidup dalam kritik, ia belajar mengutuk.

Jika anak hidup dalam kekerasan, ia belajar berkelahi.

Jika anak hidup dalam pembodohan, ia belajar jadi pemalu.

Jika anak hidup dalam rasa dipermalukan, ia belajar terus merasa bersalah.

Jika anak hidup dalam toleransi, ia belajar menjadi sabar.

Jika anak hidup dalam dorongan, ia belajar menjadi percaya diri.

Jika anak hidup dalam penghargaan, ia belajar mengapresiasi.

Jika anak hidup dalam rasa adil, ia belajar keadilan.

Jika anak hidup dalam rasa aman, ia belajar yakin.

Jika anak hidup dalam persetujuan, ia belajar menghargai diri sendiri.

Jika anak hidup dalam rasa diterima dan persahabatan, ia belajar mencari cinta di seluruh dunia.

Nah...
Author: anonym alias tidak dikenal, hapunten ka penulisna nya...ngutip kanggo blog teu wawartos heula...