Saturday, February 06, 2016

Penuhi Kebutuhan, Bukan Keinginan

Anda pernah mengeluh banyak kebutuhan tapi gaji sudah habis? Atau sudah tahapan susah tidur mikirin utang ke sana ke mari? Tidak perlu berkecil hati. Anda tidak sendirian.

Simak hasil riset Lembaga Riset Kadence Internasional Indonesia selama 2015, yang mengungkapkan 28% masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan gaya hidup konsumtif yang tidak sehat. Dari seluruh responden yang disasar, rerata memiliki pengeluaran lebih besar ketimbang penghasilan bulanan. Kadence mencatat pengeluaran bulanan sejumlah responden dibandingkan dengan uang yang mereka miliki setiap bulannya. Sebagian besar dari mereka membelanjakan uang untuk hal-hal yang sebetulnya tidak mereka perlukan.

Beberapa hal yang mendorong orang berperilaku "besar pasak daripada tiang" sebagai berikut:

1. Membeli barang karena iming-iming hadiah

2. Membeli makanan di restoran mahal karena ada diskon (paket diskon)

3. Membeli barang karena barang tersebut diiklankan oleh bintang idola

4. Makan di tempat yang sedang jadi tren meskipun harganya sangat mahal

5. Mencoba lebih dari dua produk dengan fungsi yang sebetulnya sama

Sungguh pusing bukan, jika kita termasuk orang yang banyak melakukan hal-hal di atas? Agar terhindar dari problem tersebut para pakar perencana keuangan mengenalkan istilah frugalisme. Istilah ini menunjukkan gaya hidup hemat yang mementingkan kebutuhan ketimbang menuruti hawa nafsu keinginan.

“Maklum, sebagai manusia, selain memiliki kebutuhan untuk bertahan hidup, juga dibekali Tuhan dengan keinginan yang tidak ada batasnya," ungkap Musobbichan, guru spiritual bagian teknik pabrik GarudaFood Rancaekek.

Padahal, masih kata pria mungil tersebut, keinginan tidak harus dipenuhi. Lain dengan kebutuhan, jika tidak dipenuhi hidup akan kerepotan. Makan, minum, berpakaian, tempat tinggal merupakan kebutuhan. Sementara gadget, perangkat elektronik, ngopi di Starbuck masuk kategori keinginan. Jika tidak dipenuhi manusia tidak akan mati.

"Untuk hidup tenang yang terpenting adalah memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, biaya sekolah, sandang, bensin dan belanja kebutuhan sehari-hari serta cicilan rumah,” tambah Aki Ucob (panggilan akrab teman-temannya di BU E2).

Apa yang dikemukakan Aki Ucob juga menjadi benang merah dari paham atau gaya hidup "frugalism". Gaya frugal ini berbeda dengan pelit atau gaya hidup susah. Frugalisme menitikberatkan pada kepuasan melaui hidup hemat, bahwa banyaknya barang yang dikonsumsi maupun banyaknya uang yang dibelanjakan bukan merupakan ukuran keberhasilan atau pun puncak kebahagiaan.

Jika kita bisa memilah dan memilih untuk selalu mengutamakan pemenuhan kebutuhan dan menunda pemenuhan keinginan dijamin hidup kita sehari hari akan lebih tenang. Tidak ada lagi rasa gerah karena dikejar-kejar debt collector. Atau susah tidur karena memikirkan gadget baru yang harganya setara upah buruh pabrik sebulan.

Sebaliknya, kita akan hidup lebih tenang, bahkan mulai memasukkan sebagian uang untuk ditabung. Artinya, setiap setelah menerima gaji setiap bulan ada alokasi khusus buat tabungan. Bukan menabung jika ada sisa. Namun menabung sebagai sebuah kewajiban.

Buat kita yang biaya hidupnya sehari-hari masih mengandalkan gaji gaya hidup frugalism tampaknya patut dicoba diterapkan. Sebab jika tidak cerita lama akan terus terulang; setiap bulan menyesal sudah belanja yang tidak benar-benar dibutuhkan dan bahkan dengan cara berutang.

Stop budaya konsumtif, biasakan menabung, terapkan gaya frugalism, atau kita akan menyesal. ***