Wednesday, January 04, 2006

Kinerja pejabat BI biasa-biasa saja, kok digaji luar biasa

Tatkala kinerja para pejabat pemerintah dinilai memble, yang ditandai lesunya perekonomian (kasus PHK buruh pabrik, ekonomi biaya tinggi, meroketnya suku bunga, masih loyonya rupiah), media massa ramai memberitakan tingginya gaji dan tunjangan Gubernur Bank Indonesia (BI) dan para deputinya. Terkait dengan itu media massa pun membandingkan gaji pejabat BI dengan gaji para pejabat tinggi seperti presiden, anggota DPR, menteri, dll.
Tak pelak, tingginya gaji pejabat tinggi membuat presiden SBY prihatin. Sayangnya keprihatinan SBY bukan karena menyesali semakin besarnya jurang perbedaan gaji pejabat tinggi negara dengan penghasilan mayoritas rakyat yang masih hidup merana bahkan untuk sekadar bisa makan sehari tiga kali. Keprihatinan SBY ternyata dipicu oleh adanya pejabat tinggi negara, yakni para hakim agung di Mahkamah Agung (MA) yang gajinya “hanya puluhan juta”, alias masih di bawah gaji anggota DPR, menteri, dan tentu saja pejabat BI.
Lontaran keprihatinan SBY jadi terasa konyol dan “miss-match” jika dibandingkan kondisi kehidupan rakyat Indonesia kebanyakan yang masih miskin. Kalau beda gaji antar para pejabat tinggi negara sangat besar, logikanya yang bergaji tinggi diturunkan, bukannya langsung bertekad akan menaikkan gaji pejabat yang masih kalah tinggi agar sejajar atau mendekati gaji pejabat lain yang sudah tinggi.
Tantang saja pejabat yang masih merajuk ingin naik gaji: “Kalau mau gaji lebih tinggi, silakan pindah ke tempat lain, jangan jadi pejabat negara”.
Habis itu SBY bisa buka lowongan kerja di koran guna menjaring calon pejabat tinggi negara yang mau digaji cukup besar tapi tidak jor-joran seperti pejabat BI. Saya yakin, dari 220 juta rakyat Indonesia masih banyak orang jujur, yang jauh lebih pandai dibanding pejabat sekarang, namun lebih punya nurani dan bisa menerima digaji puluhan juta (bukan ratusan ribu perak).
Bukan apa-apa, kinerja pejabat tinggi negara juga biasa-biasa saja. Contohnya, prestasi Gubernur BI dan para deputinya yang menurut saya tidak terlalu istimewa. Buktinya, nilai rupiah sejak krisis moneter 1997-1998 lalu tidak juga beranjak dari kisaran Rp 10.000 per dolar AS. Inflasi malah sudah dua digit. Suku bunga juga terus saja merangkak tinggi pertanda ekonomi masih sulit.
Apalagi gaji besar juga tidak ada jaminan tidak melakukan korupsi. Bukankah pengadilan kita pernah memproses kasus korupsi yang dilakukan para pejabat tinggi bergaji jangkung (tinggi)?
***
Abah Effi