Monday, October 24, 2005

Takut Dicopot, Mendiknas Pasang Iklan Sehalaman

HARI ini Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo melakukan blunder dengan pemunculan iklan satu halaman di sebuah harian Ibukota. Substansi iklan tersebut antara lain klaim keberhasilan Mendiknas memajukan dunia pendidikan selama setahun masa kerjanya di Kabinet yang dipimpin Presiden SBY.
Mengapa saya katakan blunder? Sebabnya sederhana, apa yang dibeberkan di iklan senilai ratusan juta perak itu sejatinya hanya bualan semata. Tidak menjelaskan apa-apa kecuali pengakuan sepihak bahwa mereka di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah bekerja serius membenahi dunia pendidikan yang carut marut dan upaya itu sukses hanya dalam hitungan setahun. Siapa percaya kinerja dia sehebat itu.
Faktanya, antara klaim Mendiknas dengan apa yang terjadi dalam dunia pendidikan nasional ibarat langit dan bumi, jauh bahkan sulit disambungkan dengan pesawat ulang-alik canggih sekalipun.
Orang dungu sekalipun mafhum, biaya pendidikan di negeri ini mahalnya bukan kepalang. Bagi orang berpenghasilan pas-pasan sungguh biaya pendidikan itu setali tiga uang dengan harga barang-barang pasca kenaikan BBM, sama-sama meroket. Apalagi buat yang tidak berpenghasilan, mengenyam pendidikan murah terjangkau hanya ada di SCTV, yakni di acara "Mimpi Kali Ye?"
Tidak perlu bicara berapa biaya di sekolah swasta. Kita tengok sekolah negeri yang gaji guru dan bangunannya dibiayai APBN. Di sebuah koran tempo hari pernah diberitakan biaya sekolah negeri yang kian mahal. Saking mahalnya sampai-sampai masyarakat bawah di Jakarta dan sekitarnya takut menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah negeri. Sekalipun lolos seleksi di sekolah negeri, ternyata banyak di antara mereka yang terpaksa meminta agar anak-anaknya melanjutkan pendidikan ke sekolah swasta papan bawah yang biayanya jauh lebih murah.
Di koran itu diceritakan nasib Fitariya (12), anak nomor lima dari tujuh bersaudara yang tinggal di Jalan Pembina III, Pramuka, Jakarta Timur, yang diterima di SMP Negeri 26, Jatinegara. Ia bersama ibunya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci sempat datang ke sekolah. Namun, Fitariya batal mendaftar ulang di sekolah tersebut setelah mendengar harus menyediakan biaya sekitar Rp 800.000.
”Bapak meninggal sejak saya kecil. Ibu saya tidak cukup biaya untuk uang sekolah dan ongkos naik bus tiap hari,” kata Fitariya. Ia akhirnya memilih bersekolah di sekolah swasta di Kayumanis, Jakarta Timur, dengan uang sekolah Rp 50.000 per bulan.
Beberapa anak lainnya bahkan tidak berani mengintip biaya yang harus dibayarkan untuk masuk sekolah negeri. Agung Pramana (13) yang diterima di SMP Negeri 137, dan Surtio Harda (13) yang lolos di SMP Negeri 14, membatalkan masuk ke sekolah tersebut karena takut akan besarnya biaya yang dikeluarkan.
David Khairullah (13), lulusan SD Negeri 02 Utan Kayu Utara, sebetulnya lolos ke SMP Negeri 7, Utan Kayu. Namun, karena pertimbangan biaya, David akhirnya mendaftar ke SMP Pembangunan, Utan Kayu, yang dapat ditempuh berjalan kaki.
”Saya mendengar dari saudara saya yang baru lulus dari sekolah itu iuran bulanannya sekitar Rp 80.000 dan uang masuknya Rp 800.000. Takutnya orangtua saya tidak mampu dan malah memberatkan keluarga. Teman saya, Fami, yang tinggal di Gang Kamboja juga diterima di SMP Negeri 97 tetapi tidak diambil takut biayanya mahal,” katanya sambil menimang kertas kecil yang menunjukkan bahwa dia resmi diterima di SMP Negeri 7. David sama sekali tidak datang ke SMP Negeri 7, sekalipun sekadar untuk menanyakan biaya yang bakal ia keluarkan kelak.
Di SMP Pembangunan yang dipilihnya tersebut biayanya jauh lebih murah. Sumbangan awal bagi murid baru hanya Rp 100.000, biaya formulir Rp 20.000 dan iuran sebulannya Rp 55.000. Totalnya, untuk menjadi siswa baru di sekolah swasta tersebut, David hanya mengeluarkan Rp 175.000, seterusnya dia tinggal membayar iuran bulanan. Untuk buku pelajaran dapat menyewa di sekolah dengan biaya murah.
Ibu David, Ny Suryati (44), mengungkapkan bahwa ia dan suaminya menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada putranya. ”Kalau uang masuknya hampir satu juta, jelas kami tidak mampu. Apalagi kakaknya juga baru masuk sekolah menengah kejuruan,” katanya.
Alhasil, apa yang dikoar-koar Mendiknas di iklan satu halaman hanyalah omong kosong. Meski salut juga atas keberaniannya membeli "space" iklan senilai ratusan juta demi meyakinkan SBY bahwa kalau ada resafel Kabinet jangan sampai kena ke dia, toh sudah berprestasi hebat selaku Mendiknas.
"Kalau ada pergantian menteri, biar yang lain saja yang diganti, jangan saya. Buktinya iklan ini, hebat kan saya?". Begitu kira-kira maksud Bambang Sudibyo dengan pemunculan iklan noraknya itu.
Gilingan!
Abah Epoy, sumber: KCM 25 Juli 2005.

Thursday, October 20, 2005

Mafia Peradilan VS Law Society


Tertangkapnya lima pegawai Mahkamah Agung oleh KPK, jumat (30/9), dan pengakuan Probosutedjo yang telah mengeluarkan Rp 16 miliar untukpenanganan kasusnya, adalah fakta mafia peradilan dalam sistem pengembanan hukum praktis kita.
Dalam prinsip berpikir system, emergent itu dipahami sebagai produk yang lahir dari pola interaksi antarkomponen yang terdapat dalam sebuah sistem. Jika dasar dan pola interaksi antar- komponen dalam sistem itu baik, maka dia akan melahirkan emergent yang baik pula. Juga sebaliknya. Dalam pengembanan hukum, mafia peradilan ini merupakan produk (emergent) abnormal. Ini berarti ia lahir dari seluruh rangkaian aktivitas pengembanan hukum kita yang juga abnormal.
Pengembanan hukum
Meuwissen (1979:22-32) mendefinisikan pengemban hukum praktis sebagai aktivitas yang ditujukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan dan kehidupan sehari-hari secara nyata, meliputi pembentukan, penemuan, dan bantuan hukum.
Dari pemahaman itu, dapat dicermati, seluruh komponen atau aktor pengemban hukum itu terdiri dari berbagai profesi, mulai dari anggota legislatif, eksekutif, polisi, jaksa, dan hakim hingga advokat. Jika mafia peradilan itu merupakan produk abnormal, berarti kualitas dasar dan pola interaksi antarkomponen dalam sistem pengembanan hukum praktis kita amat rendah.
Hal ini terjadi karena para aktor pengemban hukum kita hanya mengemban tugas-tugas keprofesiannya secara individual tanpa mengindahkan tujuan (visi) kolektif dalam pengemban hukum kita, yaitu terciptanya produk pengembanan hukum yang adil, pasti, dan bermanfaat (Radbruch) bagi masyarakat. Ketiadaan visi kolektif menandakan ketiadaan identitas dalam sistem pengembanan hukum kita.
istributed structure
Dalam pendekatan berpikir sistem, identitas itu dapat dipahami dengan mengenali struktur pembentuknya. Apakah struktur yang meng-air (distributed structure) atau struktur yang terkotak (compartementalised structure).
Sistem yang memiliki struktur yang meng-air adalah sistem yang identitasnya terdiri dari shared invariant values, di mana nilai-nilai yang mengatur pola interaksi tersebar (distributed) ke semua komponen.
Jadi nilai-nilai yang menggerakkan hubungan antarkomponen adalah sama bagi semua komponen. Berbeda dengan struktur terkotak di mana nilai- nilai yang mewarnai pola interaksi antarkomponen adalah nilai yang varian, tergantung interes, status, posisi atau jabatan (fungsi/peran) yang distribusinya ti- dak merata pada semua komponen.
Dari uraian itu dapat dipahami, belum terbentuknya identitas dalam pengembanan hukum praktis kita disebabkan karena sistem pengembanan hukum kita belum memiliki struktur yang meng-air. Struktur yang meng-air ini hanya akan terbentuk jika setiap aktor pengemban hukum, pada semua level komunitas pengemban hukum, berinteraksi berdasarkan nilai-nilai kolektif yang baik (shared invariant values), seperti kebenaran, kejujuran, dan keadilan.
Jika tiap aktor pengemban hukum berinteraksi dengan nilai-nilai yang invarian tersebut, maka perilaku kolektif dalam sistem pengembanan hukum itu akan melahirkan produk pengembanan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang invarian tersebut.
Hal ini terjadi karena sistem pengembanan hukum merupakan jaringan pengabdian yang saling berkaitan dalam melahirkan produk (emergent properties) hukum.
Untuk itu, pola interaksi yang dilakukan para pengemban hukum mensyaratkan kekoherensian antara ide, pikiran, sikap, dan tindakan, baik dalam interaksi horizontal (collegial relationship) maupun vertikal (structural relationship).
Law society
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menciptakan kekoherensian itu adalah dengan membentuk komunitas hukum, law society.
Di beberapa negara yang kualitas pengembangan hukumnya baik, seperti di Amerika Serikat, Eropa, Ausralia, law society terbukti cukup efektif dalam mencegah penyimpangan dalam sistem pengembanan hukum praktis. Ia menjadi forum komunikasi/dialog antara para pengemban hukum dan masyarakat luas tentang hukum dan keadilan.
Struktur kelembagaannya dapat dibentuk oleh masyarakat mulai dari tingkat pusat hingga desa. Keanggotaannya bersifat terbuka, mulai dari polisi, jaksa, hakim, pengacara, LSM, dan tiap anggota masyarakat yang memiliki integritas tinggi dan kepedulian atas penegakan hukum dan keadilan. Kegiatannya dapat difokuskan pada pembahasan isu-isu atau kasus-kasus aktual yang terjadi dalam kegiatan pengembanan hukum kita.
Jika lembaga ini terbentuk berarti kita telah menciptakan laboratorium pembelajaran primer (Hayyan ul Haq, Kompas, 4/8/2005) bagi para pengemban hukum praktis, sekaligus menjadi pusat pembelajaran bagi masyarakat agar tetap terjaga dan sadar pentingnya hukum dan keadilan.
Yang lebih penting, ia dapat menjadi medium pengawasan yang dilakukan seluruh pemerhati hukum dan keadilan atas pengembanan hukum yang sedang berjalan. Syaratnya, interaksi antarkomponen dalam law society harus berbasis invariant non-material values, seperti kebaikan, kebenaran, dan keadilan.
Jika nilai-nilai ideal itu menjadi dasar interaksi para pengemban hukum kita, maka praktik itu akan membentuk kultur (the best daily practices) dan identitas pengembanan hukum kita yang tidak akan pernah menolerir berbagai praktik penyimpangan, termasuk mafia peradilan.
***
Penulis: Hayyan ul Haq Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Utrecht
KOMPAS Rabu 19 Oktober 2005, OPINI

Sabar, Menu Rakyat Miskin

IKLAN apologi pemerintah atas ketidakberdayaan menyejahterakan rakyat yang jatuh miskin akibat tingginya harga BBM yang diperagakan Ustadz Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) beberapa waktu lalu (kini sudah dihentikan), di televisi, membuat saya simpati dan iba kepada Aa Gym.
Mengapa Aa yang sudah amat terkenal dan dikagumi khalayak luas mau-maunya menerima order Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) untuk menjadi model iklan apologi yang sama sekali tidak kreatif itu. Bukankah nilai moral yang selalu didengungkan Aa selama ini mengajarkan kita untuk selalu kritis terhadap ketidakadilan?
Melambungnya harga BBM memang sebuah keharusan karena Indonesia adalah negara pengimpor BBM. Tanah yang kaya kandungan minyak dan gas bumi, faktanya tidak bisa digunakan langsung, harus diekspor dulu oleh sederet perusahaan minyak asing yang diberi hak oleh pemerintah. Lalu, kita harus mengimpor BBM siap pakai dengan harga lebih mahal. Ini informasi sederhana yang saya pahami dari media. Masalahnya, yang membuat rakyat lama hidup menderita bukan semata harga BBM yang tinggi, tetapi karena pemerintah tidak pernah berpihak kepada rakyat kebanyakan.
Buktinya, hingga kini pemerintah tidak sudi menegakkan hukum, memberantas korupsi yang nyata-nyata menyebabkan ekonomi biaya tinggi sehingga dana untuk pendidikan, kesejahteraan, subsidi orang miskin nyaris nihil dalam APBN dari tahun ke tahun. Kalau mau lebih cerdik, Aa Gym mestinya menjadi model iklan ajakan memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), bukan iklan ajakan kepada rakyat miskin untuk nrimo atas ketidakbecusan pemerintah memerhatikan nasib mereka. Rakyat miskin tidak perlu diajari bagaimana caranya bersabar. Bagi rakyat miskin, bersabar adalah menu sehari-hari.
Effi Harfiana Griya Lembah Depok - Depok
***
Redaksi YTH, KOMPAS Rabu 19 Oktober 2005

Monday, October 10, 2005

Bersama Kita Bisa (Menderita)

Jujur, semua pasangan calon presiden dan wakil presiden, dalam kampanye dulu, menghindari pertanyaan tentang kebijakan tidak populis.
Pertanyaan itu, misalnya, apakah mereka akan menaikkan harga BBM jika berkuasa nanti.
Jika terpaksa menjawab, mereka akan bersembunyi di balik kalimat strategis seperti, ”Jika itu pilihan terakhir, kami akan memastikan nasib rakyat kecil dinomorsatukan!”
Kita tidak tahu siapa yang paling berpengaruh dalam membuat formula keputusan kenaikan harga BBM 1 Oktober lalu. Namun, tetap sah kita beranggapan, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) sudah mengingkari harapan para pemilih. Ayo kita tanyakan kepada rakyat kecil, apa betul mereka mau memilih SBY-JK kalau mereka dulu tahu minyak tanah akan mengalami kenaikan tertinggi, 185,7 persen.
Tidak ada logika komunikasi politik apa pun yang bisa mendukung isi surat presiden sebagai iklan layanan pemerintah (bukan ”iklan layanan masyarakat”) di berbagai media cetak berjudul Kita Bantu Rakyat Miskin. Juga tidak jernih empati yang digunakan di dalamnya. Terus terang, di antara presiden, wapres, para menko, menteri, atau staf ahli menteri siapa yang masih menggunakan minyak tanah di rumahnya? Nihil! Jadi minyak tanah memang konsumsi rakyat kecil. Anehnya, jenis BBM ini yang dibombardir paling parah! Dari sisi mana bisa dikatakan kebijakan itu membantu rakyat miskin?

Tidak berempati
Bagaimana reaksi rakyat kecil atas kebijakan itu? Banyak yang apatis, tetapi banyak pula yang sinis dan mengatakan, ”Inilah perubahan yang dijanjikan SBY- JK saat kampanye dulu, hidup jadi lebih susah!”
Namun, secara umum gelombang amarah, pemogokan, dan demonstrasi terbukti tidak terjadi. Bagaimana tidak, pemerintah menggunakan taktik menaikkan BBM beberapa hari sebelum memasuki bulan puasa. Di bulan suci ini, baik fisik utamanya spiritual, mayoritas bangsa sedang berusaha menahan diri.
Meski demikian, dalam berbagai kesempatan suara-suara publik tetap terdengar lantang. Surat pembaca Endrobroto (Mana Minyak Tanahmu Pak Menteri Bakrie?, 5/10) mengingatkan Menko Perekonomian yang pernah menanggapi protes konsumen elpiji dengan pongah, ”Kalau enggak kuat beli gas, ya pakai minyak tanah aja.” Sekarang ia bertanya, Bapak Menko mau bilang apa lagi?, ”Kalau enggak kuat beli minyak tanah, pakai kayu bakar aja?”
Komentar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral juga serupa, dan mengatakan, ”Wajar kalau beli minyak tanah antre. Orang nonton bioskop saja antre!” Wapres tak mau kalah saat menanggapi para sopir angkutan umum yang mogok, ia menjelaskan, mogok di Indonesia tidak akan sama dengan mogok di luar negeri. Di sana mereka yang mogok tetap mendapat tunjangan sosial. Di sini jika mogok tidak bekerja, ya tidak makan.
Singkatnya, ada tiga ciri komunikasi politik pemerintah seputar kenaikan harga BBM. Satu, kurang mampu berempati. Dua, kurang berpikir logis; masa tidak melihat perbedaan antara antre beli minyak tanah untuk menanak nasi dan antre nonton bioskop. Tiga, alih-alih membahas pokok masalah (seperti masalah apa yang mendasari sopir angkutan umum mogok), malah menantang, mogok itu pasti akan berhenti sendiri!

Sosialisasi Depkominfo
Bagaimana dengan peyakinan model lain, yang secara salah kaprah sering dinamakan ”sosialisasi”? Depkominfo mengirim SMS ke sembarang pemilik telepon seluler dengan pesan yang terkesan mengeksploitasi pertentangan antarkelas (kaya-miskin). Pendekatan konflik sudah dimulai sejak iklan legitimasi kenaikan harga BBM sebelumnya.
Pakar perminyakan Kurtubi dan tokoh agama Aa Gym dili- batkan pula dalam iklan layanan pemerintah versi lainnya. Saya menduga (mungkin saya salah) Kurtubi dan Aa Gym tidak menyangka kenaikan harga BBM, khususnya minyak tanah, akan begitu dahsyat! Diperkirakan iklan itu dibuat 7-10 hari sebelum kenaikan harga BBM diumumkan. Apa perasaan jujur Kurtubi dan Aa Gym? Entahlah. Tetapi, simak komentar di internet, ”Mari kita bersabar menghadapi kenaikan harga BBM, begitu nasihat Aa Gym. Padahal ulama harusnya mencegah pemerintah menzalimi rakyatnya dengan cara itu. Tidak bisakah dicari solusi agar harga BBM tidak naik atau kalau naik jangan terlalu tinggi. Jangan sampai ulama justru jadi alat pemerintah menindas rakyat.”
Semoga Aa Gym bisa memahami karena banyak umat yang mengaguminya dan tidak rela melihat tokoh agama terlibat terlalu jauh dalam iklan layanan pemerintah versi Depkominfo.
Interpretasi publik sah-sah saja. Iklan itu memang menafikan wacana publik tentang alternatif kebijakan seperti penaikan cukai rokok; peningkatan pajak bagi kelompok dan barang mewah tertentu; penuntasan sita harta koruptor kakap, kasus BLBI sampai Pertamina; bahkan ke usulan penaikan bertahap harga BBM.

Tiada maaf
Saya mencatat tidak ada ”permohonan maaf” dari iklan layanan pemerintah soal kenaikan harga BBM. Tampaknya pemerintah merasa tidak pernah—langsung atau tidak—memelihara harapan rakyat pada masa kampanye dulu, pemerintah tak akan menaikkan harga minyak tanah sampai begitu tinggi!
Apa yang terjadi kini, uang makan kuli proyek tidak cukup untuk membeli nasi dengan lauk telur, atau rakyat yang mengambil kayu nisan kuburan untuk dijadikan kayu bakar, sepenuhnya salah rakyat sendiri; karena ingin melihat perubahan, tanpa tahu apakah perubahan ke arah kemajuan atau kemunduran.
Semoga SBY mendapat spirit bersikap tegas sebagai presiden pilihan 60 persen rakyat Indonesia (di luar golput) untuk tidak mau didikte IMF yang terbukti keliru resepnya mengatasi krisis ekonomi 1997-1998, dan malah mendesak pembuatan Undang Undang Migas yang mengikat kita awal November nanti, harga BBM di Indonesia harus mendekati harga minyak dunia.
SBY harus mampu mengatakan ”tidak” pada gagasan atau formula orang di sekitarnya yang mungkin lebih pro perusahaan minyak asing yang sudah siap-siap membuka jaringan pompa bensin di Indonesia daripada pro rakyat kecil yang kini mulai sibuk mengumpulkan kayu bakar.
***
Artikel oleh: Effendi Gazali, Koordinator Program Master Manajemen Komunikasi Politik UI

Korupsi, Lain di China Lain di Indonesia

Pagi ini saya sempat bergidik tatkala membuka sebuah e-mail yang mampir di mailbox. Penjelasan dalam e-mail tersebut singkat, eksekusi sebuah keluarga terpidana korupsi di China. Betapa tidak menyeramkan, ada empat foto yang saya terima, masing-masing foto menggambarkan adegan dramatis seluruh anggota keluarga diikat, digiring, dan dibariskan oleh sepasukan tentara. Setelah itu satu per satu anggota keluarga apes tersebut ditembak mati, bahkan ada yang isi kepalanya sampai teburai timah panas yang ditembakkan dari jarak teramat dekat.
Saya tidak ingin berlama-lama berbagi cerita mengenai kengerian yang ditimbulkan setelah melihat foto-foto tersebut. Toh itu hanya akan membuat perut mual mules.
Saya lebih tertarik mencermati pesan yang melatarbelakangi beredarnya foto tersebut di dunia maya. Yakni keinginan si pengirim agar para penerima foto sudi membandingkan perbedaan “ibarat bumi dan langit” antara China dengan Indonesia dalam hal hukuman bagi para koruptor. Di China, siapa pun yang punya peluang berbuat korupsi pasti sudah dibekali semangat baja dan kehilangan urat takutnya jika dia tetap nekat melakukan korupsi. Tak heran, hukuman atas pelaku korupsi di China terbukti sangat ampuh meredam perilaku korup karena menimbulkan efek jera yang sangat efektif. Nasib koruptor yang tebukti bersalah sangat jelas seterang siang hari, yakni kepala pecah didor sepasukan petugas.
Lain di China lain pula di Indonesia. Korupsi di sini bukan hal menakutkan karena tidak ada sanksi yang tegas. Bahkan, alih-laih dicap sebagai perbuatan terkutuk dan memalukan, dalam beberapa kasus korupsi di sini justru menjadi tindakan yang prestisius, karena tersangka dan terpidana kasus korupsi bisa berubah menjadi selebritis, dikawal kesana kemari, diliput media massa tengah berbaring di sebuah rumah sakit mewah, dikalungi bunga pejabat daerah, dan hal lainnya. Koruptor di sini pada lain kesempatan juga bisa berganti baju menjadi pemilik yayasan yang menyantuni anak yatim, tokoh masyarakat yang getol membangun tempat ibadah, atau anggota dewan yang terhormat.
Kalaupun ada koruptor yang disidang, ujung perkara mudah ditebak, pasti akan berakhir “happy ending” minimal bagi para pihak terkait: terdakwa, hakim, jaksa, polisi, dan tentu saja media massa. Yang terakhir ini kerap memperlakukan terdakwa korupsi sebagai pihak yang tidak perlu dikucilkan meski perilakunya jelas-jelas korup. Kalau ada kesempatan, media massa tetap saja mengutip komentar koruptor untuk kasus-kasus tertentu.
Padahal, banyak yang sudah berteriak meyakinkan bahwa penyebab terpuruknya bangsa Indonesia melulu disebabkan perilaku korup para pejabat pemerintah yang menginjak-injak amanat rakyat, yakni mengawal upaya mulia menuju terciptanya masyarakat adil dan makmur bagi seluruh bangsa.
Alhasil, apa yang kerap dilontarkan pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum sebagai upaya pemberantasan korupsi hingga kini baru sebatas bualan di bibir saja. Sebuah ungkapan yang sejak sangat lama kehilangan makna.
***
Abah Epoy 10 Oktober 2005

Friday, October 07, 2005

Saya iba menyaksikan Aa Gym


IKLAN apologi pemerintah atas ketidakberdayaan menyejahterakan rakyatnya yang jatuh miskin akibat tingginya harga BBM yang diperagakan Ustadz Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) di televisi belakangan ini membuat saya jatuh iba kepada Aa Gym.
Mengapa Aa yang sudah sangat terkenal dan dikagumi khalayak luas mau-maunya menerima “order” dari Pemerintah (Depkominfo) untuk menjadi model iklan apologi yg sama sekali tidak kreatif itu? Bukankah nilai moral yang selalu didengungkan Aa selama ini mengajarkan kita untuk selalu kritis terhadap ketidakadilan?
Melambungnya harga BBM memang sebuah keharusan karena Indonesia adalah negara pengimpor BBM. Tanah yang kaya akan kandungan minyak dan gas bumi faktanya tidak bisa digunakan langsung, melainkan harus diekspor dulu oleh sederet perusahaan minyak asing yang mendapat hak eksplorasi isi perut bumi Indonesia dari pemerintah. Mereka antara lain Mobil Oil, Caltex, Beyond Petroleum (BP), Exxon, Freeport, Newmont, dsb. Kemudian untuk kebutuhan domestik kita harus mengimpor BBM siap pakai dengan harga yang jelas lebih mahal. Sementara Pertamina yang sejatinya menjadi garda depan dalam mengamankan kebutuhan domestik cukup puas berperan sebagai makelar berperut tambun yang tahun ke tahun sibuk menggendutkan perut sendiri, tidak peduli perutnya ternyata hanya berisi timbunan lemak berupa korupsi, kolusi, nepotisme, mark-up, dsb. Jauh bumi dengan langit jika Pertamina disandingkan dengan perusahaan sejenis di negeri jiran bernama Petronas. Ini informasi sederhana yang saya pahami dari media massa.
Masalahnya, yang membuat rakyat lama hidup menderita bukan semata harga BBM yang tinggi. Akan tetapi karena pemerintah tidak pernah berpihak kepada rakyat kebanyakan. Buktinya, hingga kini pemerintah tidak sudi menegakkan hukum, memberantas korupsi, yang nyata-nyata menyebabkan ekonomi biaya tinggi, sehingga dana untuk pendidikan, kesejahteraan, subsidi orang miskin nyaris nihil dalam APBN tahun ke tahun.
Kalau mau lebih cerdik, Aa Gym mestinya menjadi model iklan ajakan memberantas korupsi, kolusi, nepotisme. Bukannya iklan ajakan kepada rakyat miskin untuk “nrimo” atas ketidakbecusan pemerintah memerhatikan nasib mereka. Padahal rakyat kecil mah tidak perlu disuruh oleh tokoh sekelas AaGym juga sudah "nrimo". Lha, mau "nggak nrimo" bagaimana wong sudah tidak ada lagi tenaga buat berteriak? Alhasil, penampilan AaGym yang masih juga jaim (jaga image) tidak mempan, hanya membuat rakyat miskin tersenyum masam. "AaGym ini ngomong apa sih," begitu kira-kira tanggapan rakyat miskin menyaksikan AaGym di layar teve tetangga.
Mohon maaf Aa, rakyat miskin tidak perlu diajari bagaimana caranya bersabar. Karena bersabar bagi rakyat miskin sudah menjadi menu sehari-hari.
***
Abah Epoy 10 Oktober 2005

Wednesday, October 05, 2005

Menteri Tidak Becus, Mengapa Harus Dipertahankan?

Pertanyaan ini pantas dilontarkan kepada penguasa Indonesia saat ini, yakni Soesilo Bambang Yudhoyono atau lazim disebut dengan singkatan tiga huruf: SBY. Orang semua mafhum, SBY kini memimpin Kabinet yang di awal pembentukannya setahun lalu diklaim sebagai para figur dengan kemampuan di atas rata-rata. Nah, karena selama setahun ini Kabinet tersebut tidak menunjukkan kinerja yang bagus, boleh dong kami sebagai rakyat menyoal keberadaan mereka di Kabinet. Masih layakkah mereka menjadi nahkoda di departemen atau instansi pemerintahan saat ini, mengingat kondisi perekonomian sebagian besar rakyat tidak semakin membaik?
Menko Perekonomian Aburizal Bakrie, misalnya, sebelum menjadi menteri dia adalah pengusaha yang juga sempat memimpin Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia. Aburizal yang di media massa kerap disebut Ical juga pengusaha yang tidak terlalu buruk. Antara lain dia mau menyelesaikan utang perusahaan yang dulu sempat mengharumkan namanya, Bakrie Brothers.
Akan tetapi kita sama-sama menyaksikan, Ical yang cukup jago berbisnis ternyata juga dibuat mati angin oleh ruwetnya persoalan ekonomi Indonesia. Alih-alih memimpin koordinasi tim ekonomi Kabinet, dia malah kerap membuat pernyataan blunder alias menampar muka sendiri. Belum lama ini di hadapan media massa Ical sesumbar bahwa dia optimistis angka inflasi 2005 tidak akan sampai dua digit, artinya di bawah 10 persen. Sementara keadaan saat ini inflasi justru sedang merayap mendekati 10 persen. Padahal, tahun 2005 masih akan melewati tiga bulan lagi, yakni Oktober, November, Desember.
Belum kering lidah Ical bilang begitu, muncul bantahan dari Bank Indonesia (BI), bahwa inflasi tahun ini kemungkinan menembus 12 persen. Pernyataan BI melalui Gubernurnya, Burhanuddin Abdullah, ini sejalan dengan komentar sejawat Ical di Kabinet, Sri Mulyani yang tengah menjadi Kepala Bappenas, bahwa inflasi satu digit nyaris mustahil.
Lha, mestinya kan mereka bukan orang yang asing satu sama lain, mengapa harus melontarkan pernyataan yang berbeda satu sama lain? Apalagi hal itu berkaitan erat dengan asumsi-asumsi yang akan dijadikan rujukan dalam setiap pembuatan kebijakan ekonomi oleh pemerintah.
Yang muncul ke permukaan adalah kenyataan bahwa Ical ternyata gagap dalam menyampaikan tren ekonomi makro di negeri ini hatta dia adalah koordinator bidang ekonomi di kabinet. Yang dibaca oleh orang awam adalah Ical tengah mempertontonkan dagelan ketoprak, yakni mengibur tanpa harus peduli substansi pesan. Terserah, yang penting rakyat terhibur meskipun pada saat yang sama rakyat juga terkibul. Padahal, orang bodoh sekalipun sadar yang namanya kenaikan harga BBM hingga seratus persen pasti akan melambungkan harga-harga segala barang kebutuhan. Kalau ini terjadi maka nilai mata uang pun akan banyak tergerus. Gejala apa ini namanya kalau bukan inflasi? Lalu, mengapa anda masih juga tega dan ngotot mengatakan inflasi tetap satu digit, Ical?
Ical juga melontarkan pernyataan bodoh saat pemerintah mengumumkan kenaikan harga gas untuk konsumsi rumah tangga. Waktu itu dia bilang, gas adalah bahan bakar untuk kalangan menengah ke atas, orang miskin tidak akan mampu beli gas. "Kalau tidak sanggup beli gas, ya pakai minyak tanah saja," ujarnya waktu itu. Ini jelas pernyataan bodoh, karena orang sekarang tahu persis minyak tanah pun di samping tidak murah, juga langka. Bagaimana bisa menawarkan minyak tanah yang mahal dan langka sebagai pengganti gas yang juga mahal? Bodoh sekali kalau mengikuti saran Ical, tidak membeli gas, tapi kemudian keliling kota membawa jerigen untuk mencari minyak tanah yang langka dengan harga dua kali lipat dari yang diputuskan pemerintah. Jelas komentar itu muncul dari ketidakpahaman Ical akan kondisi ril di lapangan, bahwa rakyat sejatinya sudah buang waktu banyak untuk menyaksikan polah para menteri khususnya Ical yang tidak bermutu.
Ah, keterlaluan SBY kalau menteri dengan kualitas seperti Ical tetap dipertahankan. Saya sendiri sejak awal meragukan, mengapa orang yang mengurus perusahaan milik sendiri saja tidak becus kok ya diserahi tanggung jawab mengurus ekonomi negara? Akan tetapi keheranan saya buru-buru mendapat jawabannya ketika saya teringat informasi setahun lalu, bahwa Ical adalah salah satu penyandang dana terbesar dalam kampanye SBY-JK untuk menggapai kursi RI-1.
Itu baru bicara satu orang dari satu perspektif. Masih ada angle lain tentang Ical. Belum lagi kalau kita bahas performance menteri lainnya. Belum lagi kalau kita bahas upaya pemberantasan korupsi yang masih jalan di tempat. Sebaliknya koruptor baru bermunculan bahkan lebih ganas dan terang-terangan, tidak di instansi pemerintah tidak di gedung DPR. Belum lagi kalau kita bahas sepak terjang mitra SBY, JK atau Jusuf Kalla. Yang satu ini terakhir juga jalan-jalan ke Afrika Selatan mengajak kerabatnya dari Makassar hingga 70 orang lebih dibiayai negara untuk bertemu dengan warga Afsel keturunan Makassar yang jadi ulama di sana. Ini murni perjalanan romantisme beraroma sektarian tapi diselubungi sentimen nasionalisme.
Tapi, ah, sudahlah. Toh SBY juga berkali-kali bilang sudah tidak peduli lagi dengan penilaian masyarakat tentang performance dirinya.
***
Abah Epoy 5 Oktober 2005