Friday, July 15, 2005

Indonesia dalam Perang Modern

Pengantar Redaksi
INI merupakan artikel terakhir almarhum Prof Dr Mubyarto yang meninggal dunia hari Selasa, 24 Mei 2005, di Yogyakarta. Artikel ini belum sempat termuat di halaman khusus Opini "Kompas" karena isu iklan Freedom Institute sudah lewat momennya. Namun, mengingat ada sisi-sisi pemikiran almarhum di dalam tulisan ini yang masih relevan dengan situasi Indonesia dewasa ini, maka kami turunkan sebagai penghormatan terakhir terhadap almarhum.
***
SAYA sedih membaca iklan besar dalam harian Kompas tanggal 26 Februari 2005 halaman 9 berjudul "Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM?"
IKLAN ini hebatnya didukung 26 "tokoh nasional". Isi atau materi iklan berasal dari hasil studi LPEM FE-UI tentang "dampak kenaikan BBM terhadap kemiskinan" yang jumlahnya akan sedikit naik dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) 30 persen dari 16,25 persen menjadi 16,43 persen, tetapi melalui "dana kompensasi pengurangan subsidi" yang direncanakan akan mampu menurunkan kemiskinan menjadi 13,87 persen.
Yang tidak biasa adalah mengiklankan hasil penelitian LPEM-UI sedemikian rupa sehingga tokoh-tokoh yang namanya disebut dalam iklan 100 persen percaya cara-cara dan hasil perhitungan dampak kenaikan BBM 30 persen dan kemudian juga percaya penuh efektivitas rencana dana kompensasi, yang dalam iklan justru tidak disebutkan jumlahnya.
Di masa lalu kami pernah melaksanakan penelitian di banyak daerah, dan tidak ada kecualinya, pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin) tidak mencapai sasaran penduduk miskin karena raskin ini dibagi rata (dumdil) kepada seluruh warga kampung dan desa. Akibatnya, program raskin dalam teori menyatakan pembagian beras 20kg/keluarga/bulan, tetapi dalam kenyataan yang diterima keluarga miskin hanya 5-6kg/bulan/keluarga. Yang sangat menyedihkan kami adalah mengapa 36 tokoh kita mendukung iklan yang berdasarkan penelitian terbukti tidak benar. Kami menaruh curiga jangan-jangan 36 tokoh ini tidak semuanya paham apa yang didukungnya, tetapi sekadar beramai-ramai menyatakan "solidaritas" pada keinginan rekan-rekan dari Freedom Institute.
Kesedihan kami yang kedua adalah kesan yang ingin diberikan iklan bahwa karena iklan ini didukung oleh tokoh-tokoh, maka tokoh-tokoh lain di luar itu, yang tidak mendukung, termasuk bukan tokoh. Kadang-kadang mereka menamakan pakar yang bukan golongan mereka sebagai pakar "populis murahan" yang tidak pantas disebut pakar. Alangkah menggelikan.

Subsidi
Namun, saya gembira iklan pengurangan subsidi BBM tidak sepenuhnya menganggap subsidi sebagai "barang yang haram", tetapi sekadar dianggap "kebijakan yang keliru dari masa lalu". Tetapi justru di sinilah kelemahan "pesan" iklan tersebut. Di satu pihak subsidi BBM harus dikurangi (tidak dihapus), tetapi di pihak lain tanpa secara eksplisit mengakuinya, pemerintah sesungguhnya tetap ingin membela dan mempertahankan subsidi yang dianggap tidak bisa dihindarkan, dan oleh karenanya harus dianggap adil.
Semua tokoh kita termasuk tokoh pemasang iklan kiranya tahu, dalam APBN kita sekarang ada pos pengeluaran sekitar Rp 60 triliun per tahun yang merupakan pos pembayaran bunga kepada bank-bank rekap sekaligus kepada sekitar 14.000 orang terkaya di Indonesia yang memiliki deposito di atas Rp 5 miliar. Subsidi bunga kepada pemilik modal yang harus ditanggung rakyat termasuk penduduk miskin dianggap "adil" karena kalau tidak dibayar maka orang-orang kaya dikhawatirkan akan melarikan dananya ke luar negeri, khususnya ke Singapura.
Jika 36 tokoh ini menganggap subsidi pada orang-orang kaya ini adalah "wajar", sebaliknya rupanya mereka berpendapat subsidi kepada BBM "keliru". Tentu saja masyarakat luas ingin mengetahui konsistensi pemikiran tokoh-tokoh kita ini.

Rp 200 miliar per hari?
Perhitungan LPEM-UI bahwa pada harga minyak dunia sekarang subsidi BBM akan mencapai Rp 70 triliun atau Rp 200 miliar per hari sungguh "mendirikan bulu roma". Apakah ini merupakan perhitungan yang sudah benar? Ternyata tidak, karena di sini dipakai asumsi Indonesia adalah 100 persen pengimpor minyak, padahal kenyataannya 60 persen produksi minyak Indonesia yang 1,1 juta barrel per hari (seharga 19,6 miliar dollar AS) diekspor. Artinya, iklan yang menyatakan subsidi Rp 70 triliun adalah bukan fakta, tetapi "karangan", yaitu perhitungan di atas kertas "seandainya" Indonesia sama sekali bukan produsen minyak.
Mengapa 36 tokoh ini menggunakan cara berpikir yang "membohongi" masyarakat awam? Jika harga ekspor minyak kita di pasar dunia naik sampai 2 kali lipat, mengapa kita abaikan kenaikan penerimaan devisa kita dan hanya kita hitung kenaikan pembayaran untuk minyak yang sebenarnya tidak seluruhnya kita impor?
Alangkah tepat kekhawatiran Adam Smith tentang perilaku pengusaha dan pemerintah yang dalam teori maupun dalam praktik sudah biasa membohongi masyarakat
Laws and government may be considered… as a combination of the rich to oppress the poor… Merchants and manufacturer are an order of (people), whose interest is never exactly the same with that of the public, and who accordingly have upon many occasions, both deceived and oppressed it.
Kalau ungkapan Smith ini tidak terlalu sering dikutip pakar-pakar ekonomi, ungkapan lain yang hampir sama lebih sering kita temukan.
People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices. It is impossible indeed to prevent such meetings, by any law which either could be executed or would be consistent with liberty and justice. But though, the law cannot hinder people of the same trade from sometimes assembling together, it ought to do nothing to facilitate such assemblies, much less to render them necessary.
Dari kutipan-kutipan ini kiranya sulit dibantah kecenderungan ekonomi Indonesia kini menyerupai kondisi yang diamati Adam Smith di Inggris 229 tahun yang lalu. Namun, kondisi kita sekarang di Indonesia jauh lebih sulit dan mengkhawatirkan karena banyak tokoh kita justru telah berpihak pada mereka, yaitu pada persekongkolan antara pemerintah dan pengusaha-pengusaha kaya, yang keduanya menganut faham neoliberal dan neokapitalis.

Ala Seskoad
Mungkin belum banyak di antara 36 tokoh-tokoh kita tersebut yang membaca buku baru terbitan Seskoad Bandung berjudul Bangsa Indonesia Terjebak Perang Modern (Desember 2004). Dalam buku ini Jenderal Ryamizard Ryacudu, KSAD yang baru diganti, mengingatkan bahwa bangsa Indonesia saat ini telah berada dalam jebakan "Perang Modern".
Jebakan Perang Modern ini dimulai dengan krisis moneter 1997/1998 yang cepat berubah menjadi krisis multidimensi sampai sekarang. Krisis multidimensi ini, menurut kami, merupakan "peringatan" sekaligus "ujian" Tuhan pada bangsa Indonesia menjelang satu abad Kabangkitan Nasional 2008.
Di tengah-tengah tekanan yang begitu keras terhadap negara kita, yang diawali dengan penggoyangan sektor moneter, kemudian meluas ke sektor ekonomi riil dan selanjutnya berkembang menjadi krisis kepercayaan dan krisis politik, serta krisis budaya, justru disikapi oleh para elite politik dan beberapa kelompok kepentingan di dalam negeri untuk mengambil kesempatan demi kepentingan pribadi dan kelompok-kelompoknya, dengan mengabaikan kepentingan yang lebih besar dalam jangkauan jauh ke depan (Try Sutrisno, halaman 85).
Keterjebakan kita pada Perang Modern rupanya tidak disadari oleh para elite kita karena kesilauan mereka pada faham luar yang menyerang.
Akibat dari serangan dahsyat tersebut "elit" kita terpecah menjadi 3 kelompok, yaitu (Ryamizard R.C., hal xi): (1) Tidak tahu apa yang sedang terjadi (masyarakat awam); (2) Tahu, tetapi tidak sadar, atau tidak menyadari bahwa bangsa ini telah berada dalam jebakan pihak musuh/asing (kebanyakan kaum intelektual); (3) Tahu, sadar, tetapi berkhianat menjadi agen asing (komprador).
Apa yang harus kita lakukan untuk keluar dari jebakan perang modern ini? Jawabannya pada hemat kami sangat sederhana, yaitu "kembali ke semangat Sumpah Pemuda 1928, ketika seluruh pemuda-pemudi dari berbagai daerah di Indonesia bertekad menyingkirkan perbedaan-perbedaan di antara mereka untuk bersatu". Hanya dengan bersatu Indonesia bisa merdeka. Dan hanya dengan merdeka Indonesia dapat bebas dari kemiskinan, kedunguan, dan keserakahan. Inilah musuh Indonesia tahun 1928 dan inilah juga musuh yang kita hadapi sekarang.
Faktor pemersatu berikutnya adalah Pancasila yang diterima bulat oleh para perintis kemerdekaan pendiri negara Republik Indonesia tahun 1945, dan kemudian menyelamatkannya dari pengkhianatan PKI tahun 1965. Kini Indonesia dalam ancaman besar menghadapi musuh lama yang berpakaian modern, yaitu neoliberalisme, neokolonialisme, dan neoimperialisme. Neolib, Neokol, dan Neoim merajalela karena sebagian elite kita lebih percaya pada faham-faham "musuh" dari luar ketimbang Pancasila, faham dan ideologi kita sendiri.
Seratus tahun lalu (1905), ketika kemiskinan rakyat Indonesia memuncak, pemerintah penjajah Belanda berusaha mengambil hati rakyat Indonesia dengan menerapkan Politik Etik, yaitu edukasi, irigasi, dan emigrasi. Tetapi yang kemudian terjadi adalah persekongkolan antara pemerintah penjajah dan kelompok kapitalis yang membajak kebijakan balas budi itu untuk kepentingan mereka sendiri. Siapa pun kini, 100 tahun kemudian, dapat melihat dan merasakan gejala yang sama, yaitu persekongkolan kapitalis dan pemerintah untuk membohongi dan menindas si miskin seperti yang ditunjuk dengan amat jelas oleh Adam Smith di atas. "Perang Modern" tidak sekadar sedang mengancam dan menjebak bangsa Indonesia, tetapi memang sedang berlangsung seru. Hanya persatuan dan kesatuan bangsa akan mampu mengalahkan musuh.
***
Oleh: Mubyarto, Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM Yogyakarta (KOMPAS 26/05/05)

No comments: