Friday, July 15, 2005

Freedom Institute dan BBM

PERDEBATAN tentang iklan Freedom Institute dan kenaikan BBM menjadi kian hangat ketika Rizal Mallarangeng memberikan tanggapannya (Kompas, 3/3). Saya mencoba melihatnya dari sebuah sudut pandang berbeda.
Saya terkejut saat membaca iklan Freedom Institute dengan judul besar, isinya mendukung kenaikan harga BBM yang merupakan kebijakan publik dengan argumen sederhana (mungkin karena iklan). Sikap ini didukung sejumlah nama besar, sebagian di antaranya saya kenal baik.
"Ada sesuatu yang salah!", itu yang muncul dalam pikiran saya seketika.
Freedom Institute yang saya kenal adalah organisasi nonpemerintah. Lembaga ini merupakan bagian dari civil society. Para pendukung yang termuat dalam iklan, sebagian besar adalah para intelektual dan aktivis civil society. Dalam perspektif liberal, konsep civil society yang merupakan koreksi terhadap pandangan liberal ortodoks, meletakkan civil society sebagai penyeimbang antara masyarakat pasar/pengusaha dan negara.
Apabila kita melihatnya sebagai sebuah segitiga, pada sebuah sudut segitiga ada negara dengan seluruh perangkatnya, yaitu pemerintah, badan legislatif, dan sebagainya. Di sudut kedua ada pelaku usaha dan masyarakat pasar. Di sudut ketiga ada civil society yang melakukan aktivitas sebagai penyeimbang dan berpandangan kritis terhadap negara dan masyarakat usaha, semuanya ditujukan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Civil society ini terdiri dari berbagai kelompok dan aliran, amat heterogen, tetapi posisi dan sikapnya jelas, bukan bagian dari negara dan pelaku usaha, selalu mandiri dan seharusnya tidak dapat dikooptasi, baik oleh negara maupun pengusaha. Sementara itu dalam perspektif struktural, radikal, atau marxis, kelompok ini mengorganisasi dirinya dan mewujud dalam aksi sosial kolektif, melakukan kritik keras dan melawan dominasi pasar, mencoba memperbesar peranan institusi publik, mencoba menggabungkan prinsip humanisme liberal, kebebasan liberal dengan sosialisme.
Posisi media, umumnya mirip civil society. Dalam alam demokrasi, ia harus independen. Apabila bersifat propagandis atau bagian kekuasaan, jangan heran bila media kehilangan pembaca.
Dilihat dari kedua perspektif itu, pemasangan iklan Freedom Institute amat tidak tepat, tidak terlihat kesadaran akan posisi di mana berpijak. Iklan itu memperlihatkan posisi dan lembaganya ada pada pemerintah. Mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah, sama sekali tidak menunjukkan daya kritis terhadap kebijakan pemerintah yang seharusnya diambil oleh civil society. Sebenarnya, posisi dapat lebih cantik dan kritis bila iklan memuat dan menganjurkan publik untuk mengawasi dan memonitor secara intensif pelaksanaan dana kompensasi. Atau menganjurkan dana kompensasi dipercepat dan diawasi ketat meski secara implisit langkah ini adalah dukungan terhadap kenaikan harga BBM.
Rizal Mallarangeng dalam tulisannya mengatakan, "Freedom Institute dan 36 tokoh yang namanya tercantum sebagai pendukung iklan itu tidak dikendalikan pemerintah", tetapi banyak dari kita yang tahu persis, paling tidak ada dua nama dari pendukung adalah orang pemerintah. Belum lagi bila kita bertanya, "Adakah orang pemerintah yang memberi bantuan untuk iklan?". Yang jelas, posisi yang diambil adalah pemerintah, bukan sebagai bagian civil society. Bila demikian, bukankah lebih baik membuat Kelompok Pendukung Kenaikan Harga BBM, yang ada dalam koordinasi pemerintah.
SEDIH, ketika negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, secara internal sudah mengubah pandangan liberal ortodoks menjadi neoliberal, dengan memberi peran lebih besar terhadap negara untuk mengatur masyarakatnya (intervensi negara secara terbatas) setelah resesi tahun 1930, tetapi saat berhadapan dengan dunia luar, khususnya dunia ketiga, prinsip pandangan liberal ortodoks dengan imperialisme ekonomi dan militer masih dijalankan.
Tahun 1930-an saat terjadi resesi, banyak pemikir dan intelektual merasa kapitalisme adalah sistem yang gagal dan bergerak ke perencanaan ekonomi terpusat (centrally planned economy) baru kemudian dapat bangkit dari depresi.
John Maynard Keynes muncul dengan gagasan perlunya intervensi negara secara terbatas untuk menjaga dan menyelamatkan sistem kaplitalisme dengan ekonomi pasarnya. Kapitalisme dan ekonomi pasar selamat antara lain lewat intervensi dengan memotong bunga dan meningkatkan defisit anggaran melawan resesi. Hal ini terus diperbaiki sesuai perkembangan zaman, antara lain dengan pajak progresif dan undang-undang antimonopoli, peran negara dan institusi publik diperbesar. Sayang, saat negara-negara kapitalis berhadapan dan melakukan ekspansi terhadap dunia luar, khususnya dunia ketiga, prinsip dan pandangan liberal ortodoks dengan imperialisme ekonomi yang justru digunakan. Hal inilah yang harus mendapat perhatian serius dari para ekonom dan pembuat kebijakan ekonomi kita.
IHWAL kenaikan harga BBM, saya bukan ekonom, tetapi saya bisa membaca buku, artikel dan bertanya kepada para ekonom dari kedua pihak yang juga saya kenal. Saya mendapat informasi dan analisis dari ekonom, baik yang mendukung maupun yang menolak kenaikan harga BBM. Kedua pihak mempunyai argumen dan data empiris yang masuk akal, yang semuanya dapat dibaca lewat media massa. Tidak ada kebenaran mutlak memang. Kebenaran itu relatif.
Akhirnya saya mencoba bertanya secara sederhana kepada diri sendiri, "Apakah kenaikan harga BBM menyusahkan saya yang berpenghasilan sebagai pimpinan beberapa media?" Saya menjawab sendiri "Tidak!" Lantas siapa yang menjadi susah dengan kenaikan harga BBM kini? Jawabnya pasti sopir bajaj, sopir angkutan kota, penumpang bus kota, penumpang angkutan kota, rakyat kecil yang harga kebutuhan pokoknya naik, dan mempertahankan hidup dari hari ke hari. Nanti ada dana kompensasi! Kapan? Sebulan, dua bulan lagi, sementara itu dia butuh makan hari ini! Pada saat sama kita mengetahui, banyak pejabat negara dan pengusaha yang utangnya macet. Negara ini dikenal negara terkorup di dunia dengan jumlah koruptor amat sedikit, mungkin jauh lebih sedikit dari negara paling bersih di dunia. Atau dalam kata-kata lain "negara terkorup tanpa koruptor". Belum lagi kita bicara tentang tidak efisiennya badan usaha negara, dan lain lagi yang menyebabkan kita mengurut dada. Tidak adakah jalan lain yang lebih baik?
Bung Rizal dalam bagian akhir tulisannya mengatakan, "...jika kaum penentang pengurangan subsidi BBM dapat mengorganisasikan diri, menggalang dana, dan benar-benar meyakini kebenaran gagasannya, harian Kompas pasti tidak akan keberatan jika mereka ingin memasang iklan, dua halaman penuh sekalipun".
Ini tantangan menarik. Menurut saya, jika para penentang pengurangan subsidi BBM, termasuk rakyat yang merasa sengsara dan aktivis yang menentang kenaikan harga BBM dapat mengorganisasikan, menggalang dana, dan meyakini kebenarannya, perlawanan harus dilakukan. Untuk itu tidak perlu iklan. Pemberitaan yang ditulis berbagai media secara independen yang bisa menjadi puluhan bahkan ratusan halaman, belum lagi termasuk pemberitaan media elektronik, jauh lebih bermakna dan bermartabat daripada iklan yang bersifat propagandis.
***
Amir Effendi Siregar Pengajar Jurusan Komunikasi Fisipol UGM; Sekjen Serikat Penerbit Suratkabar (SPS): KOMPAS 7 Maret 2005

No comments: