Monday, February 05, 2007

Kocaknya Bangsa Kita

SIAPA bilang bangsa kita tidak kocak. Dominasi program lawak di televisi menunjukkan, bangsa kita gemar membanyol. Ketika dunia berlomba mengejar inventor hi-tech yang naik pesat, tingkat partisipasi korupsi kita-menurut koran-sudah sampai kelurahan. Kata seorang profesor, "Wong bisa dan kesempatannya cuma itu!"
Tetangga sebelah bilang, ihwal perkara miring, kita memang nomor satu. Sekian puluh tahun kita rajin memelihara wabah demam berdarah, misalnya. Kocaknya, keluarga korban demam berdarah yang tak tertolong masih ada yang tidak gusar. Padahal, rakyat Belanda yang knalpot mobilnya rusak gara-gara pemerintah membiarkan jalan jeglok saja mencak- mencak menuntut ganti rugi.
Pernah juga mendengar kisah seorang sopir taksi asal Sumatera Utara yang bergurau kepada penumpangnya berceloteh, "Kayak di Bosnia saza," ketika melintasi jalan raya berlubang di Ibu Kota, yang pajak mobilnya tertinggi di Indonesia, tetapi aspalnya sudah bagai kubangan kerbau.
Mungkin di situ enaknya (maaf) menggembala rakyat Indonesia. Selain rasa humornya tinggi, mereka susah marah, pandai tersenyum, mudah trenyuh, dan gampang menangis. Jika ada satu-dua rakyat yang terbilang vokal, tentu bukan mewarisi genetika politik bangsa kita yang cenderung memilih suka nrimo.
Namun satu hal harus diakui, bangsa kita mudah curiga, bersyak-wasangka, dan lekas tersinggung. Kata seorang sosiolog, boleh jadi karena wujud kekocakan karakter biar miskin asal sombong. Kocaknya, benci kepada orangnya, tetapi mau menerima sumbangannya.
Pernah pula menyaksikan sekian banyak penumpang bus luar kota yang sudi duduk di lantai bus padahal membayar ongkos penuh. Atau mereka tak marah diturunkan seenaknya di tengah jalan sebelum tiba ke tujuan dan mereka masih tertawa. Kita mafhum, boleh jadi karena sejak bayi bangsa kita selain rajin diajak tersenyum, juga belajar pandai tertawa.
MELIHAT gejala seperti itu seorang psikolog bilang, mungkin itu sebabnya mengapa bangsa kita tergolong tahan banting. Dari muda mereka terbiasa hidup berdampingan secara damai dengan tekanan, krisis, konflik, dan frustrasi. Daya tahan stresnya menjadi kokoh. Oleh karena itu, boleh jadi dalam menghadapi tiap kematian sia-sia, atau mati konyol anggota keluarga sekalipun, mereka terlihat masih tegar tanpa gusar.
Sejelek-jelek layanan publik yang pernah dialami, masih ada pihak yang mereka sanjung. Penderitaan dan kesusahan jelas-jelas mereka alami karena human error, masih disangka God’s decision.
Tengok mereka yang bergelantungan di bus kota tiap hari, tanpa berpendingin merayap di jalan macet, dan macetnya akibat buatan manusia dan ulah penguasa. Atau, beratnya menempuh buruknya jalan desa, tetapi mereka tabah menerima. Padahal, setelah lebih dari setengah abad merdeka, sudah selayaknya semua kesusahan itu tak mereka alami. Namun kocaknya, bagi mereka, semua itu bukan masalah. Tampaknya, dalam urusan badan, mereka boleh lelah dan letih, juga boleh nyeri, asal hati tetap ayem mereka tak mudah menjadi berang.
Asalkan tidak sengaja menusuk hati, bangsa kita enak diajak bergaul. Turis asing senang datang ke negeri kita bisa jadi salah satunya karena dalam serba kekurangan bangsa kita masih bertegur sapa dan tulus tersenyum. Sutradara film mungkin melihatnya sebagai sebuah puisi. Masih ada senyuman tulus di balik kegetiran hidup. Bagi setiap filsuf, potret itu juga sebuah kekocakan hidup.
DI negeri orang lain, warga terantuk batu saja sudah berteriak keras. Kocaknya bangsa kita, meski sudah lama terinjak, mungkin diinjak, masih saja mesem yang tidak dibuat-buat ala Mr Bean. Mesemnya menggendong ketegaran hidup. Jika sampai marah, mereka menyampaikan dengan santun.
Bangsa lain mungkin sudah menjerit, bangsa kita menahan rasa perih pedih kehidupan tanpa mengaduh. Perhatian kecil dari penguasa membuat rakyat sumringah-nya luar biasa. Apalagi jika sampai bisa membuat mereka kecukupan makan tiap hari. Kocaknya pula, bangsa kita masih sering takut kepada polisi kendati tidak bersalah. Masih tetap menaruh hormat kepada pamong, kendati proyek jalan desa dikorupsi dan sawah dibiarkan puso.
Kita ingin menyitir gejala orang-orang di negara sosialis, yang saking beratnya hidup, tanpa boleh berontak dan mengaduh sehingga yang muncul ungkapan satir dan gereget humor sebagai katarsis. Dari situ ada tangkai-tangkai humanisme yang mungkin terpetik. Kalau di sana, misalnya, tumbuh fenomena sosial "Mati Ketawa Cara Rusia", rasanya bukannya dibuat-buat bila di sini ada pula spesies hidup berbangsa dengan kekocakan karakter "Mati Ketawa Cara Indonesia".

Handrawan Nadesul Dokter, Penulis Puisi (KCM 5 Maret 2005)

No comments: