
Silakan mampir, senang jika kita bisa berbagi informasi
Wednesday, February 07, 2007
Meski Banjir, Tetap Semangat Sekolah

Sungguh sangat disesalkan jika semangat belajar yang begitu tinggi (sebagaimana dicontohkan pelajar yang tetap ceria meski dihadang banjir) masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah yang belum optimal dalam meningkatkan mutu dunia pendidikan kita..
(abah Effi-Foto: KCM)
Kasih Ibu di Kala Banjir
Banjir yang membekap Ibukota Jakarta sejak s
epekan terakhir banyak menyimpan cerita. Ada yang tidak bisa masuk kerja karena rumahnya kebanjiran. Ada yang malas ke kantor karena jalan menuju tempat kerja terendam banjir. Ada pula yang tidak masuk kerja karena rumah tetangga kebanjiran. Ajaib. Banjir dijadikan alasan bagi mereka yang malas bekerja. Satu hal, di tengah beratnya desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup ternyata masih ada banyak sisi kemanusiaan tercermin dalam peristiwa banjir. Seperti ibu yang rela berbasah kuyup demi anak. Asal anak aman dari banjir ibu seperti tampak dalam foto ini rela menerjang banjir. Sunggu sebuah pemandangan yang sangat baik untuk direnungkan. Kasih ibu..
(abah Effi-Foto: KCM)

(abah Effi-Foto: KCM)
Monday, February 05, 2007
Socrates pesen jangan ngegosip...dosa!!!
In ancient Greece, Socrates was reputed to hold knowledge in high esteem. One day an acquaintance met the great philosopher and said,
"Do you know what I just heard about your friend?"
"Hold on a minute," Socrates replied. "Before telling me anything I'd like you to pass a little test. It's called the Triple Filter Test."
"Triple filter?"
"That's right," Socrates continued. "Before you talk to me about my friend, it might be a good idea to take a moment and filter what you're going to say. That's why I call it the triple filter test.
The first filter is TRUTH.
Have you made absolutely sure that what you are about to tell me is true?"
"No," the man said, "actually I just heard about it and..."
"All right," said Socrates. "So you don't really know if it's true or not.
Now let's try the second filter, the filter of GOODNESS.
Is what you are about to tell me about my friend something good?"
"No, on the contrary... "
"So," Socrates continued, "you want to tell me something bad about him, but you're not certain it's true. You may still pass the test though, because there's one filter left: the filter of USEFULNESS. Is what you want to tell me about my friend going to be useful to me?"
"No, not really."
"Well," concluded Socrates, "If what you want to tell me is neither true, good nor even useful, why tell it to me at all?"
This is why Socrates was a great philosopher & held in such high esteem.
Friends, let's use this triple filter each time we hear loose talk about anyone.
"Do you know what I just heard about your friend?"
"Hold on a minute," Socrates replied. "Before telling me anything I'd like you to pass a little test. It's called the Triple Filter Test."
"Triple filter?"
"That's right," Socrates continued. "Before you talk to me about my friend, it might be a good idea to take a moment and filter what you're going to say. That's why I call it the triple filter test.
The first filter is TRUTH.
Have you made absolutely sure that what you are about to tell me is true?"
"No," the man said, "actually I just heard about it and..."
"All right," said Socrates. "So you don't really know if it's true or not.
Now let's try the second filter, the filter of GOODNESS.
Is what you are about to tell me about my friend something good?"
"No, on the contrary... "
"So," Socrates continued, "you want to tell me something bad about him, but you're not certain it's true. You may still pass the test though, because there's one filter left: the filter of USEFULNESS. Is what you want to tell me about my friend going to be useful to me?"
"No, not really."
"Well," concluded Socrates, "If what you want to tell me is neither true, good nor even useful, why tell it to me at all?"
This is why Socrates was a great philosopher & held in such high esteem.
Friends, let's use this triple filter each time we hear loose talk about anyone.
Potret (Keliru) Poligami
Penulis: Sirikit Syah, wartawan

Kesalahan perjuangan para aktivis perempuan adalah lebih menghormati PSK dan perempuan simpanan daripada mereka yang mau jadi istri kedua
***
Sahabat saya dr Nalini Agung menelepon hanya untuk menyampaikan komentar kerasnya. "Ada tiga jokes of the year tahun ini, laki-laki semua. Aa Gym, Yahya Zaini, dan Akhmad Dani," katanya dengan nada jengkel. Menurut perempuan cantik dan pintar itu, Yahya, yang tampil bisu di sisi istrinya di hadapan publik Kamis malam lalu, "Adalah laki-laki bertubuh besar, bernyali ciut. Ada persoalan dengan istri, lari ke perempuan lain. Kini ada persoalan dengan perempuan lain, berlindung kepada istrinya."
Tentang Aa Gym, Nalini tidak banyak berkomentar, selain, "Ternyata, Aa Gym manusia biasa juga." Namun, Nalini tak dapat menoleransi kepongahan suami bernama Akhmad Dani. "Suami macam itu, kalau saya jadi Maia, wis tak tinggal."
Tiga lelaki "jokes of the year", istilah bagus temuan seorang perempuan berpendidikan dan berkarir, yang juga ibu rumah tangga yang baik. Di kalangan pemerintah, Presiden SBY tak berkomentar sepatah kalimat pun mengenai kasus YZ-ME, malah mempersoalkan regulasi perkawinan poligami seolah-olah itu ancaman nasional.
Di lapangan, berbagai kelompok masyarakat, antara lain mahasiswa Universitas Muhamadiyah Jogjakarta, berdemo menentang poligami. Ibu-ibu muslimat memboikot pengajian Aa Gym. Sangat mengherankan, tak ada masyarakat yang berdemo memprotes YZ, wakil rakyat yang melakukan skandal seks.
Dunia sudah terbolak-balik. Aa Gym -yang menikah dengan uang sendiri dan mendapat rida istri- dihujani kecaman lebih keras daripada pelaku perzinahan dan perselingkuhan dengan menggunakan uang rakyat/negara.
Potret Poligami
Seperti yang dikatakan Aa Gym, poligami sudah sangat dikelirukan maknanya. Yang melakukan misleading atas makna poligami itu termasuk di antaranya pemerintah, para pemimpin negara, tokoh masyarakat, aktivis perempuan, dan media massa. Poligami telah dipotret sebagai kejahatan dan kekerasan pada perempuan dan anak-anak.
Alih-alih mendengarkan penjelasan Aa Gym dan Teh Ninih, istrinya, masyarakat lebih suka mendengarkan sumber-sumber yang tidak layak bicara. Bagaimana kita percaya pandangan Farhat Abbas tentang poligami? Dia sendiri suami yang gemar mempermainkan perempuan dan membohongi istrinya.
Juga, mengapa mendengarkan Sandy Harun yang tak setuju poligami atau berbagi suami? Look whoʼs talking. Dia adalah "the other woman", yang kemudian dinikahi. Dalam status sebagai istri Djodi, dia berhubungan dan punya anak dengan Tommy Soeharto. Dalam kata lain, Sandy adalah pelaku poliandri, sebuah tindakan melanggar hukum. Orang seperti itu akan kita dengar pendapatnya?
Kekecewaan masyarakat yang luar biasa kepada Aa Gym sebetulnya dipicu oleh pemujaan berlebihan pada sosok kiai muda itu. Ibu-ibu membanjiri pengajiannya dan rela antre berbulan-bulan hanya untuk bisa mengunjungi pesantrennya di Bandung. Aa dipandang sebagai dewa. Ketika Aa melakukan hal yang manusiawi (bersifat manusia), masyarakat terkejut dan patah hati. Kebanyakan orang kecewa karena Aa sering mendengung-dengungk an konsep keluarga sakinah. "Sakinah apaan, bohong besar," kata sementara orang.
Apakah keluarga sakinah tak dapat tercapai dengan tindakan Aa menikah lagi? Apakah keluarga sakinah tidak mungkin dialami keluarga poligami? Saya melihat keluarga poligami Aa Gym lebih sakinah daripada banyak keluarga nonpoligami.
Pembelokan (bila bukan pemelintiran) makna poligami -dari sebuah solusi menjadi tindak kejahatan- itu hanya skala kecil upaya pemerintah untuk menutupi amburadulnya pengelolaan negara belakangan ini. Ketua DPR menyalahgunakan voucher pendidikan, anggota DPR terlibat skandal seks yang videonya merebak ke seluruh msayarakat, lumpur Sidoarjo tak tertangani, angka kemiskinan meningkat, rakyat tak punya bahan bakar untuk memasak, BUMN yang terus merugi atau kalau untung dijual.
Kekeliruan masyarakat terjadi ketika mereka selalu membenarkan persepsinya sendiri. Di antaranya, dengan kalimat "Mana ada perempuan mau dimadu." Kenyataannya, banyak peremuan bersedia dimadu. Lalu, "Ya, tapi mereka pasti tertekan dan menderita." Lagi-lagi, sebuah upaya pembenaran antipoligami.
Perempuan lain boleh pura-pura atau acting. Namun, kita tak dapat menuduh Teh Ninih hipokret, bukan? Dia dengan wajah bersinar menyatakan ikhlas dan rida suaminya menikah lagi. Bahkan, mimik, gesture, dan body language Ninih dan Aa selama jumpa pers menunjukkan bahwa mereka masih saling (bahkan lebih) mencintai.
Saya percaya mereka telah mendapatkan hikmah. Masyarakat tak mau menerima kenyataan itu. Mereka menolak fakta kebenaran. Bukan Aa dan Ninih yang hipokret, melainkan kita sendiri.
Poligami bukan anjuran, apalagi kewajiban. Seperti kata Aa, "Jangan menggampangkan. " Aa tentu saja sah berpoligami karena dia bukan PNS, dia mampu, dan memiliki ilmu serta potensi untuk berbuat adil. Banyak laki-laki tak bertanggung jawab bersembunyi di balik UU Perkawinan yang melarang poligami dan meneruskan tindakan bejatnya mempermainkan perempuan tanpa status perkawinan sah.
Poligami yang baik dilakukan dengan cara kesepatakan suami istri, kompromi, atau persuasi. Setiawan Djodi berhasil mempersuasi istrinya untuk menerima kehadiran Sandy Harun. Ray Sahetapy gagal karena Dewi Yull memilih bercerai.
Sebagai perempuan muslim, kita boleh stay on atau quit dalam perkawinan poligami. Alasan quit jelas: enggan berbagi. Alasan stay on: mencintai suami dan tak ingin kehilangan atau tak berdaya secara ekonomi dan sosial.
Kesalahan perjuangan para aktivis perempuan adalah lebih menghormati PSK dan perempuan simpanan yang independen daripada mereka yang mau jadi istri kedua. Para istri pertama yang ikhlas, yang seharusnya mendapat apresiasi dari kita, malah didudukkan sebagai korban yang perlu dikasihani.
Banyak gerakan perempuan yang didukung pemerintah meneriakkan yel-yel antipoligami. Sitoresmi yang menjadi istri keempat Debby Nasution dipecat dari LSM-nya di Jogjakarta karena dianggap "tidak berdaya".
Pada intinya, UU Perkawinan yang membatasi perkawinan poligami hanya melindungi para istri pertama yang enggan berbagai hak dengan sesama perempuan (padahal diteriakkan persamaan hak dengan laki-laki). Lebih buruk lagi, UU itu melindungi laki-laki hidung belang yang tak mau bertanggung jawab. Itu sama tak bertanggung jawabnya dengan laki-laki yang berpoligami, padahal tidak mampu, tidak adil, dan tak mendapat restu istri pertama.
***
Oleh: Sirikit Syah
*) Penulis adalah ibu rumah tangga, aktif sebagai pengarang. Tulisan ini diambil dari Jawa Pos edisi Rabu, 13 Des 2006
***
Sahabat saya dr Nalini Agung menelepon hanya untuk menyampaikan komentar kerasnya. "Ada tiga jokes of the year tahun ini, laki-laki semua. Aa Gym, Yahya Zaini, dan Akhmad Dani," katanya dengan nada jengkel. Menurut perempuan cantik dan pintar itu, Yahya, yang tampil bisu di sisi istrinya di hadapan publik Kamis malam lalu, "Adalah laki-laki bertubuh besar, bernyali ciut. Ada persoalan dengan istri, lari ke perempuan lain. Kini ada persoalan dengan perempuan lain, berlindung kepada istrinya."
Tentang Aa Gym, Nalini tidak banyak berkomentar, selain, "Ternyata, Aa Gym manusia biasa juga." Namun, Nalini tak dapat menoleransi kepongahan suami bernama Akhmad Dani. "Suami macam itu, kalau saya jadi Maia, wis tak tinggal."
Tiga lelaki "jokes of the year", istilah bagus temuan seorang perempuan berpendidikan dan berkarir, yang juga ibu rumah tangga yang baik. Di kalangan pemerintah, Presiden SBY tak berkomentar sepatah kalimat pun mengenai kasus YZ-ME, malah mempersoalkan regulasi perkawinan poligami seolah-olah itu ancaman nasional.
Di lapangan, berbagai kelompok masyarakat, antara lain mahasiswa Universitas Muhamadiyah Jogjakarta, berdemo menentang poligami. Ibu-ibu muslimat memboikot pengajian Aa Gym. Sangat mengherankan, tak ada masyarakat yang berdemo memprotes YZ, wakil rakyat yang melakukan skandal seks.
Dunia sudah terbolak-balik. Aa Gym -yang menikah dengan uang sendiri dan mendapat rida istri- dihujani kecaman lebih keras daripada pelaku perzinahan dan perselingkuhan dengan menggunakan uang rakyat/negara.
Potret Poligami
Seperti yang dikatakan Aa Gym, poligami sudah sangat dikelirukan maknanya. Yang melakukan misleading atas makna poligami itu termasuk di antaranya pemerintah, para pemimpin negara, tokoh masyarakat, aktivis perempuan, dan media massa. Poligami telah dipotret sebagai kejahatan dan kekerasan pada perempuan dan anak-anak.
Alih-alih mendengarkan penjelasan Aa Gym dan Teh Ninih, istrinya, masyarakat lebih suka mendengarkan sumber-sumber yang tidak layak bicara. Bagaimana kita percaya pandangan Farhat Abbas tentang poligami? Dia sendiri suami yang gemar mempermainkan perempuan dan membohongi istrinya.
Juga, mengapa mendengarkan Sandy Harun yang tak setuju poligami atau berbagi suami? Look whoʼs talking. Dia adalah "the other woman", yang kemudian dinikahi. Dalam status sebagai istri Djodi, dia berhubungan dan punya anak dengan Tommy Soeharto. Dalam kata lain, Sandy adalah pelaku poliandri, sebuah tindakan melanggar hukum. Orang seperti itu akan kita dengar pendapatnya?
Kekecewaan masyarakat yang luar biasa kepada Aa Gym sebetulnya dipicu oleh pemujaan berlebihan pada sosok kiai muda itu. Ibu-ibu membanjiri pengajiannya dan rela antre berbulan-bulan hanya untuk bisa mengunjungi pesantrennya di Bandung. Aa dipandang sebagai dewa. Ketika Aa melakukan hal yang manusiawi (bersifat manusia), masyarakat terkejut dan patah hati. Kebanyakan orang kecewa karena Aa sering mendengung-dengungk an konsep keluarga sakinah. "Sakinah apaan, bohong besar," kata sementara orang.
Apakah keluarga sakinah tak dapat tercapai dengan tindakan Aa menikah lagi? Apakah keluarga sakinah tidak mungkin dialami keluarga poligami? Saya melihat keluarga poligami Aa Gym lebih sakinah daripada banyak keluarga nonpoligami.
Pembelokan (bila bukan pemelintiran) makna poligami -dari sebuah solusi menjadi tindak kejahatan- itu hanya skala kecil upaya pemerintah untuk menutupi amburadulnya pengelolaan negara belakangan ini. Ketua DPR menyalahgunakan voucher pendidikan, anggota DPR terlibat skandal seks yang videonya merebak ke seluruh msayarakat, lumpur Sidoarjo tak tertangani, angka kemiskinan meningkat, rakyat tak punya bahan bakar untuk memasak, BUMN yang terus merugi atau kalau untung dijual.
Kekeliruan masyarakat terjadi ketika mereka selalu membenarkan persepsinya sendiri. Di antaranya, dengan kalimat "Mana ada perempuan mau dimadu." Kenyataannya, banyak peremuan bersedia dimadu. Lalu, "Ya, tapi mereka pasti tertekan dan menderita." Lagi-lagi, sebuah upaya pembenaran antipoligami.
Perempuan lain boleh pura-pura atau acting. Namun, kita tak dapat menuduh Teh Ninih hipokret, bukan? Dia dengan wajah bersinar menyatakan ikhlas dan rida suaminya menikah lagi. Bahkan, mimik, gesture, dan body language Ninih dan Aa selama jumpa pers menunjukkan bahwa mereka masih saling (bahkan lebih) mencintai.
Saya percaya mereka telah mendapatkan hikmah. Masyarakat tak mau menerima kenyataan itu. Mereka menolak fakta kebenaran. Bukan Aa dan Ninih yang hipokret, melainkan kita sendiri.
Poligami bukan anjuran, apalagi kewajiban. Seperti kata Aa, "Jangan menggampangkan. " Aa tentu saja sah berpoligami karena dia bukan PNS, dia mampu, dan memiliki ilmu serta potensi untuk berbuat adil. Banyak laki-laki tak bertanggung jawab bersembunyi di balik UU Perkawinan yang melarang poligami dan meneruskan tindakan bejatnya mempermainkan perempuan tanpa status perkawinan sah.
Poligami yang baik dilakukan dengan cara kesepatakan suami istri, kompromi, atau persuasi. Setiawan Djodi berhasil mempersuasi istrinya untuk menerima kehadiran Sandy Harun. Ray Sahetapy gagal karena Dewi Yull memilih bercerai.
Sebagai perempuan muslim, kita boleh stay on atau quit dalam perkawinan poligami. Alasan quit jelas: enggan berbagi. Alasan stay on: mencintai suami dan tak ingin kehilangan atau tak berdaya secara ekonomi dan sosial.
Kesalahan perjuangan para aktivis perempuan adalah lebih menghormati PSK dan perempuan simpanan yang independen daripada mereka yang mau jadi istri kedua. Para istri pertama yang ikhlas, yang seharusnya mendapat apresiasi dari kita, malah didudukkan sebagai korban yang perlu dikasihani.
Banyak gerakan perempuan yang didukung pemerintah meneriakkan yel-yel antipoligami. Sitoresmi yang menjadi istri keempat Debby Nasution dipecat dari LSM-nya di Jogjakarta karena dianggap "tidak berdaya".
Pada intinya, UU Perkawinan yang membatasi perkawinan poligami hanya melindungi para istri pertama yang enggan berbagai hak dengan sesama perempuan (padahal diteriakkan persamaan hak dengan laki-laki). Lebih buruk lagi, UU itu melindungi laki-laki hidung belang yang tak mau bertanggung jawab. Itu sama tak bertanggung jawabnya dengan laki-laki yang berpoligami, padahal tidak mampu, tidak adil, dan tak mendapat restu istri pertama.
***
Oleh: Sirikit Syah
*) Penulis adalah ibu rumah tangga, aktif sebagai pengarang. Tulisan ini diambil dari Jawa Pos edisi Rabu, 13 Des 2006
Seribu Manfaat Air


Kocaknya Bangsa Kita

Tetangga sebelah bilang, ihwal perkara miring, kita memang nomor satu. Sekian puluh tahun kita rajin memelihara wabah demam berdarah, misalnya. Kocaknya, keluarga korban demam berdarah yang tak tertolong masih ada yang tidak gusar. Padahal, rakyat Belanda yang knalpot mobilnya rusak gara-gara pemerintah membiarkan jalan jeglok saja mencak- mencak menuntut ganti rugi.
Pernah juga mendengar kisah seorang sopir taksi asal Sumatera Utara yang bergurau kepada penumpangnya berceloteh, "Kayak di Bosnia saza," ketika melintasi jalan raya berlubang di Ibu Kota, yang pajak mobilnya tertinggi di Indonesia, tetapi aspalnya sudah bagai kubangan kerbau.
Mungkin di situ enaknya (maaf) menggembala rakyat Indonesia. Selain rasa humornya tinggi, mereka susah marah, pandai tersenyum, mudah trenyuh, dan gampang menangis. Jika ada satu-dua rakyat yang terbilang vokal, tentu bukan mewarisi genetika politik bangsa kita yang cenderung memilih suka nrimo.
Namun satu hal harus diakui, bangsa kita mudah curiga, bersyak-wasangka, dan lekas tersinggung. Kata seorang sosiolog, boleh jadi karena wujud kekocakan karakter biar miskin asal sombong. Kocaknya, benci kepada orangnya, tetapi mau menerima sumbangannya.
Pernah pula menyaksikan sekian banyak penumpang bus luar kota yang sudi duduk di lantai bus padahal membayar ongkos penuh. Atau mereka tak marah diturunkan seenaknya di tengah jalan sebelum tiba ke tujuan dan mereka masih tertawa. Kita mafhum, boleh jadi karena sejak bayi bangsa kita selain rajin diajak tersenyum, juga belajar pandai tertawa.
MELIHAT gejala seperti itu seorang psikolog bilang, mungkin itu sebabnya mengapa bangsa kita tergolong tahan banting. Dari muda mereka terbiasa hidup berdampingan secara damai dengan tekanan, krisis, konflik, dan frustrasi. Daya tahan stresnya menjadi kokoh. Oleh karena itu, boleh jadi dalam menghadapi tiap kematian sia-sia, atau mati konyol anggota keluarga sekalipun, mereka terlihat masih tegar tanpa gusar.
Sejelek-jelek layanan publik yang pernah dialami, masih ada pihak yang mereka sanjung. Penderitaan dan kesusahan jelas-jelas mereka alami karena human error, masih disangka God’s decision.
Tengok mereka yang bergelantungan di bus kota tiap hari, tanpa berpendingin merayap di jalan macet, dan macetnya akibat buatan manusia dan ulah penguasa. Atau, beratnya menempuh buruknya jalan desa, tetapi mereka tabah menerima. Padahal, setelah lebih dari setengah abad merdeka, sudah selayaknya semua kesusahan itu tak mereka alami. Namun kocaknya, bagi mereka, semua itu bukan masalah. Tampaknya, dalam urusan badan, mereka boleh lelah dan letih, juga boleh nyeri, asal hati tetap ayem mereka tak mudah menjadi berang.
Asalkan tidak sengaja menusuk hati, bangsa kita enak diajak bergaul. Turis asing senang datang ke negeri kita bisa jadi salah satunya karena dalam serba kekurangan bangsa kita masih bertegur sapa dan tulus tersenyum. Sutradara film mungkin melihatnya sebagai sebuah puisi. Masih ada senyuman tulus di balik kegetiran hidup. Bagi setiap filsuf, potret itu juga sebuah kekocakan hidup.
DI negeri orang lain, warga terantuk batu saja sudah berteriak keras. Kocaknya bangsa kita, meski sudah lama terinjak, mungkin diinjak, masih saja mesem yang tidak dibuat-buat ala Mr Bean. Mesemnya menggendong ketegaran hidup. Jika sampai marah, mereka menyampaikan dengan santun.
Bangsa lain mungkin sudah menjerit, bangsa kita menahan rasa perih pedih kehidupan tanpa mengaduh. Perhatian kecil dari penguasa membuat rakyat sumringah-nya luar biasa. Apalagi jika sampai bisa membuat mereka kecukupan makan tiap hari. Kocaknya pula, bangsa kita masih sering takut kepada polisi kendati tidak bersalah. Masih tetap menaruh hormat kepada pamong, kendati proyek jalan desa dikorupsi dan sawah dibiarkan puso.
Kita ingin menyitir gejala orang-orang di negara sosialis, yang saking beratnya hidup, tanpa boleh berontak dan mengaduh sehingga yang muncul ungkapan satir dan gereget humor sebagai katarsis. Dari situ ada tangkai-tangkai humanisme yang mungkin terpetik. Kalau di sana, misalnya, tumbuh fenomena sosial "Mati Ketawa Cara Rusia", rasanya bukannya dibuat-buat bila di sini ada pula spesies hidup berbangsa dengan kekocakan karakter "Mati Ketawa Cara Indonesia".
Handrawan Nadesul Dokter, Penulis Puisi (KCM 5 Maret 2005)
Orang Miskin Bertambah Banyak

Jakarta 2014 Lumpuh Total

Apakah prakiraan ini akan terjadi, atau sekadar hasil hitung-hitungan statistik para pakar transportasi yang semakin cemas melihat permasalahan lalu lintas di Jakarta yang setiap hari bukan semakin bertambah baik atau berkurang kemacetannya.
Kelumpuhan total ini tetap merupakan suatu ancaman terhadap perkembangan Jakarta di masa depan. Tahun 2014 tinggal sepuluh tahun lagi, jika pemerintah kota dan masyarakat gagal untuk menyusun suatu langkah strategi pemecahan masalahnya, maka prakiraan kelumpuhan ini akan benar-benar terjadi. Pada tahun 2004 jumlah kendaraan bermotor sudah mencapai 4,5 juta unit, dengan jumlah roda empat sebanyak 2,1 juta unit.
Dengan rata-rata peningkatan jumlah kendaraan sebelas persen setahun yang berbanding jauh dengan penambahan panjang jalan yang hanya satu persen, maka tanda-tanda menuju kelumpuhan sudah terlihat. Data dari penelitian Departemen Perhubungan pada tahun 2000 pada 34 titik pengamatan di Jakarta, menunjukkan 32 titik atau 94 persen ruas jalan arteri telah mendapat beban yang melebihi kapasitasnya. Jika kita mengamati kondisi perjalanan sehari-hari secara goyon lalu lintas di Jakarta saat ini sudah sering mengalami "pamer" alias padat merayap, atau yang lebih parah lagi adalah "pamer diranjang" alias padat merayap dalam antrean panjang.
Kelumpuhan ini selain disebabkan daya tarik Jakarta yang tidak habis-habisnya, juga disebabkan beberapa faktor pendorong yang cenderung menjadi penyebab kemungkinan peningkatan kepadatan lalu lintas di dalam kawasan perkotaan di masa depan. Salah satu sebab adalah terjadinya kecenderungan kelompok muda menengah atas yang melakukan perubahan dalam memilih tempat tinggal.
Saat ini akibat faktor kemacetan, banyak kalangan muda atas yang memilih apartemen di pusat kota sebagai pilihan tempat tinggal. Layanan angkutan publik yang tidak aman dan nyaman, serta kondisi pedestrian yang tidak tertata, akan menjadikan kendaraan pribadi sebagai pilihan mereka dalam melakukan aktivitasnya.
Sementara itu kelompok menengah bawah yang tidak mampu untuk tinggal di pusat kota karena mahalnya harga tanah di Jakarta, akan memaksa dirinya membeli kendaraan pribadi, baik roda empat atau roda dua sebagai alat mobilitasnya. Hal ini dilakukan akibat minimnya layanan angkutan umum yang layak ke kawasan permukiman di pinggiran Jakarta.
Semua serba dilematis, tanpa adanya pembatasan yang ketat, dan koordinasi dalam perencanaan dan pengembangan sistem transportasi, maka bersiaplah warga Jakarta dari sekarang untuk menghadapi tanda-tanda kelumpuhan tersebut.
WARGA Jakarta sebaiknya sudah mulai belajar dari Kota Bandung, sebagai kota terdekat yang sudah mulai lumpuh lalu lintasnya. Apa yang dihadapi warga Bandung saat ini bisa menjadi pelajaran yang berharga untuk menjadi bahan perenungan. Kota Bandung yang semakin padat dan terbatas jaringan jalannya, saat ini semakin bertambah parah akibat terjadinya perubahan kawasan permukiman menjadi kawasan perdagangan. Situasi Jakarta sudah tidak jauh berbeda, kondisi saat ini sudah mendekati situasi yang mengkhawatirkan.
Pertumbuhan wilayah permukiman baru yang pesat di sekitar Jakarta (Cibubur, Bekasi dan Tangerang) tanpa didukung pelayanan angkutan massal telah membawa dampak kemacetan yang parah di ruas jalan tol dan pintu-pintu keluarnya. Data Jasa Marga, mencatat 1,1 juta unit kendaraan pribadi masuk dari arah selatan ( Cimanggis, Cibubur), sementara 2,3 juta unit kendaraan menumpuk dari arah barat melalui Kebun Jeruk. Sementara itu dari arah timur melalui pintu Bekasi, sebanyak 1 juta unit kendaraan.
Waktu tempuh perjalanan semakin panjang, waktu untuk keluarga sudah hilang, polusi bertambah dan semakin melelahkan. Sementara keberadaan sekitar 23 flyover dan 8 under pass di berbagai titik rawan, tidak mampu memecahkan kemacetan.
Jika Jakarta benar-benar menjadi lumpuh pada tahun 2014 , maka kota ini telah gagal untuk secara sungguh-sungguh membangun sistem perencanaan transportasinya. Bandingkanlah dengan Bangkok yang bertekad pada tahun 2016 akan menawarkan dirinya untuk menjadi kota penyelenggara Olimpiade Dunia.
Walaupun ada kritik terhadap kondisi lalu lintasnya, para pengelola kotanya tetap optimistis kemacetan lalu lintas di Bangkok akan dapat diatasi. Apakah Jakarta mampu mengatasi masalah kemacetan lalu lintasnya, sebaiknya ini menjadi bahan renungan sebelum kelumpuhan itu benar-benar terjadi di hadapan kita.
Yayat Supriatna Planolog (KCM 18 Oktober 2004)
Subscribe to:
Posts (Atom)