Thursday, April 24, 2008

Kata Dia, "SBY pinter nyanyi kok dikritik..."

Seorang pengusaha jamu menulis opini di koran. Ia menyayangkan masyarakat yang mengritik Presiden SBY karena lebih mementingkan membikin album lagu tatkala warga Porong, Sidoarjo, dibekap lumpur panas Lapindo.

Para pengritik, demikian sang tokoh mengulas, tidak bisa menghargai seni. SBY memiliki kepedulian menyalurkan bakat seni, mestinya diapresiasi tinggi. Apalagi tugas sebagai presiden sangat berat. Dia menyodorkan contoh para pemimpin dunia macam Ronald Reagan yang berlatar belakang aktor film ketika terpilih sebagai Presiden AS dulu. Rakyat AS, kata dia, sangat respek atas jiwa seni Reagan. Sederet contoh “pemimpin dunia berjiwa seni” disodorkannya untuk menguatkan pembelaannya pada Presiden yang pandai bernyanyi dan mencipta lagu.

Sayangnya, selain bertubi-tubi memuji SBY, penulis luput menyertakan bukti-bukti prestasi yang ditoreh Presiden. Alih-alih menyambut baik pengritik, penulis yang di setiap era selalu dekat dengan kekuasaan malah menuding rakyat tidak berjiwa seni dan tidak pandai menghargai Presiden yang pandai menyanyi dan mencipta lirik lagu.

Padahal, sebagaimana lazimnya kritik, apa yang meruyak di permukaan hanyalah lontaran pertanyaan sederhana. Yang diperlukan juga tidak banyak, cukup jawaban yang masuk akal. Bukan bersahut kritik apalagi lontaran cemooh. Dari sini, kalau memang benar penulis pengagum Presiden yang pandai menyanyi, jawab saja pertanyaan; sebegitu banyak waktu yang dimiliki SBY sehingga dia bisa menggarap album lagu bahkan hingga dua kali? Atau sebaliknya; sedemikian sibukkah sang Presiden hingga lumpur panas Lapindo luput dari perhatiannya?

Bukankah mereka yang terusir paksa dari desanya gara-gara banjir lumpur Lapindo juga rakyat SBY sama seperti penulis Opini yang pengusaha jamu? (Hati-hati lho, di antara ribuan rakyat terusir lumpur panas Lapindo bisa jadi ada konsumen setia jamu produksi perusahaan penulis..he..he...mana dong jiwa Customer Satisfaction anda wahai penulis nan budiman?)

Penulis mestinya mafhum, justru di kala SBY menyiapkan peluncuran album kedua, di media massa muncul berita seorang pedagang gorengan nekat bunuh diri karena tidak sanggup berdagang lagi akibat harga-harga tinggi. Di koran kabar kolaborasi rekaman musik SBY dengan Darma Oratmangun si penggubah lagu bersahut riuh dengan berita tentang antrean panjang jelata yang berharap dapat satu dua liter minyak tanah.

Belum lagi kasus gedung sekolah ambruk karena minimnya perawatan. Atau anak jalanan dan pengangguran yang bertambah berselang-seling dengan berita soal ancaman kelaparan akibat krisis pangan. Dalam perspektif ini sungguh sangat relevan menyoal lagak laku Presiden yang masih pede tampil di depan umum mendendangkan lagu (meski lagunya sendiri sangat idealis utopis memuja-muja kebesaran bangsa dan Tanah Air) sementara rakyat banyak hidup kesusahan bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan mendasar.

Alhasil, unek-unek tokoh yang identik dengan humor dan Museum Rekor Indonesia (MURI) mudah dibaca sebagai tipikal serapah seorang penjilat yang tengah berupaya memikat hati sang Tuan yang tengah duduk nyaman di singgasana. Barangkali saja si Tuan yang dalam hal ini dipuji sebagai mahluk langka (Presiden Penyanyi dan Pencipta Lagu) ini berkenan dan bersedia dijadikan sahabat sang tokoh.

Udah ah...jadi kemana-mana...

No comments: