Tuesday, April 20, 2010

Pemda Keblinger Satpol PP Klenger

Rusuh terkait penggusuran makam Mbah Priok (tokoh agama Islam di Jakarta) di Koja, Jakarta Utara selain menebar nestapa juga meninggalkan coreng hitam di muka Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta. Selain dinilai tidak becus, ada semacam kesengajaan Pemda mendahulukan aksi kekerasan ketimbang musyawarah.
Kebrutalan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan massa di Kelurahan Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara (14/4) menuai kecaman banyak pihak. Puluhan warga yang terluka, bahkan masih tergolong anak-anak, tetap saja dikeroyok dan dihajar. Sebaliknya petugas Satpol PP yang sudah tergeletak dihajar sampai tak bergerak. Perilaku petugas Satpol PP yang arogan patut dikecam. Keberingasan massa juga tidak pantas dipuji. Sementara petugas kepolisian yang dinilai lamban dan cenderung membiarkan rusuh berlangsung bahkan sampai menelan korban jiwa sungguh tercela.

Terakhir, media massa melaporkan korban tewas akibat amuk di Priok menjadi tiga orang, yaitu W Soepeno, Ahmad Tajudin, dan terakhir Israel Jaya. Kamis malam Polda Metro Jaya mengumumkan sedikitnya tercatat 134 orang terluka akibat bentrokan tersebut. Para korban adalah 69 anggota Satuan Polisi Pamong Praja, 55 warga setempat, dan 10 polisi. "Dua di antaranya luka berat," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Komisaris Besar Boy Rafli Amar.
Kerugian material di antaranya 6 bus, 4 truk, dan sebuah meriam air milik polisi yang dirusak dan dibakar massa. Empat truk Satpol PP mengalami nasib serupa. "Kerugian total masih belum dihitung," ujar Boy sebagaimana dikutip Tempo Interaktif.


Musyawarah
Yang bikin gemas, setelah rusuh dibiarkan seharian penuh dengan korban jiwa, korban luka, kerusakan fisik, Pemda DKI lantas berinisiatif menghadakan pembicaraan dengan keluarga ahli waris amarhum Mbah Priok dan masyarakat setempat. Bukankah semestinya dibalik; Pemda terlebih dulu mengedepankan musyawarah sebelum mentok dan memilih jalur penggusuran meski berisiko munculnya aksi kekerasan?

Apa yang terjadi dalam kasus Koja sejatinya bukan hal pertama dalam sejarah penertiban yang dilakukan Pemda DKI. Kalau mau dirunut ke belakang setiap masalah sejenis berawal dari Pemda sendiri yang tidak becus dan tidak sudi melakukan tindakan pencegahan sebelum masalah membesar.

Keberadaan bangunan liar, misalnya, tindakan acap kali baru dilakukan setelah masyarakat menempati lokasi bertahun-tahun atau puluhan tahun. Andai sejak pertama kali lahan ditempati Pemda langsung mengingatkan mestinya warga tidak akan melawan.

Ini pula yang terjadi dalam penggunaan trotoar untuk berjualan para pedagang kakilima. Di saat pedagang mendirikan lapak atau jongko biasanya mereka dibiarkan saja. Meski mengganggu lalu lintas, di mana pejalan kaki karena trotoar diserobot memilih berjalan di badan jalan. Akibatnya jalan yang menjadi jatah pengendara kendaraan jadi terhalang, Kemacetan pun tak terelakkan, toh pelanggaran dibiarkan saja. Ini bisa disaksikan bahkan hingga sekarang di Perempatan Pasar Rebo, di Kramatjati, di Blok M, Cipulir, dan di hampir semua pusat keramaian di Ibukota.

Setelah masalah akut, kemacetan semakin menggila, seakan Pemda menjadi pahlawan dan tersadar untuk melakukan penertiban. Yang terjadi mudah ditebak, muncul perlawanan dari para pedagang karena merasa haknya berjualan diganggu. Tidak ada perasaan salah sudah berjualan di tempat terlarang, toh selama ini mereka merasa dibiarkan. Bahkan sebagai justifikasi, para pedagang berdalih mereka tidak gratis berjualan di sana. Ada upeti yang diserahkan setiap hari kepada oknum berseragam Pemda sebagai uang jaminan keamanan. Aneh, dalam kacamata mereka, jika uang disetor namun mereka tetap saja disuruh pergi. Ini terjadi dan terjadi menjadi sebuah lingkaran setan (vicious circle).

Dalam beberapa kasus penggusuran perlawanan massa tidak kalah beringasnya dengan aksi kekerasan yang dilakukan Satpol PP. Yang satu menjalankan tugas sebab jika tidak mau akan dipecat dan gaji pun distop. Sementara lawannya juga sami mawon, jika mengalah tidak berjualan maka periuk nasinya bisa saja lenyap alias terancam tidak makan...

Bagus jika Pemda DKI dan Pemda lainnya introspeksi. Lakukan pencegahan sebelum masalah berkembang tak terkendali. Soal semacam ini Para Gubernur, Walikota, atau Bupati tidak usah malu untuk belajar kepada Walikota Solo, Jawa Tengah. Jokowi, demikian Walikota Surakarta Joko Widodo biasa disapa, membangun tempat penampungan terlebih dulu sebelum menggusur pedagang di Pasar Triwindu. Penempatan lokasi baru diupayakan gratis. Sangat berbeda dengan kepongahan dan keserakahan Pemda lain. Jika menggusur seenaknya, kalaupun saat itu ada pembangunan atau penampungan biasanya yang digusur disuruh membeli dengan harga sangat mahal. Wajar jika mereka berteriak marah. Kalau sudah begini, yang repot semuanya. Behentilah menjadi pemimpin yang dungu. Belajarlah dari yang sudah terjadi.

Nah.

***