Monday, January 14, 2008

Jangan Bubarkan Lembaga Sensor

Tuntutan Masyarakat Film Indonesia agar Lembaga Sensor Film (LSF) dihapus sungguh menggelikan. Kendati demikian, bagi yang mencermati tren aktual perfilman nasional, ide penghapusan LSF yang mereka usung bukan hal aneh.

Maklum saja, film yang mereka buat hingga saat ini belum juga beranjak dari hal-hal berbau seks bebas (free sex) dan tahayul. Film karya anak muda “kreatif” yang katanya lulusan sekolah film luar negeri itu kalau tidak bertema percintaan remaja ala barat (lengkap dengan keberanian beradegan ciuman, free-sex), biasanya tentang hantu gentayangan, mayat bangkit dari kubur, dsb.

Masyarakat, khususnya para orangtua yang memiliki anak beranjak remaja, tentunya akan mengernyitkan dahi menyaksikan “kreativitas” pekerja film. Betapa tidak, film yang banyak dipuji sebagai karya kreatif ternyata belum juga beranjak dari eksploitasi pornogafi dan tahayul berbalut "suspense-horror" ala "Suster Ngesot" atau "Jelangkung" tsb.

Sepengetahuan saya, karakteristik film selain sebagai media hiburan juga memiliki kekuatan memengaruhi opini, sikap, bahkan perilaku penontonnya. Hal mana merupakan sebagian alasan masih diperlukannya LSF. Tentu masih ada sederet hal lain yang memperkuat argumen pentingnya mempertahankan keberadaan LSF. Itu semua demi kemaslahatan orang banyak ketimbang sekadar memuaskan obsesi segelintir sineas muda yang tidak ingin diatur dalam memuaskan selera semata.

Saran saya untuk para sineas muda, silakan berkarya secara lebih kreatif lagi. Syukur jika karya dimaksud juga mengandung unsur mendidik. Lumayan, buat penyegar dahaga bangsa yang sedang "sakit" ini. Bukan sekadar adegan percintaan anak muda yang "berani". Atau hantu jadi-jadian penyubur tahayul pemupuk sifat penakut. Intinya, tidak perlu merasa gerah dengan keberadaan lembaga sensor. Di sini anda masih tetap bebas berkreasi kok, selama tidak memaksakan nilai-nilai ke orang lain (masyarakat penonton film)...
@bah