Thursday, June 12, 2008

Bersama Kita Bisa Sama-sama Konyol

Sudah menjadi hukum alam, sebuah aksi akan mengundang reaksi. Aksi konyol direspon dengan kekonyolan, hanya akan menimbulkan rentetan kekonyolan baru. Demikian yang terjadi belakangan ini.

Kekonyolan pertama dipertontonkan sekelompok orang yang mengaku pendukung kebebasan beragama berbendera AKKBB menggelar aksi menentang pelarangan Ahmadiyah. Mereka menganggap Ahmadiyah bukan sekte sesat dan patut dibela. Konyol karena sebagian dari mereka bukan penganut Islam, namun merasa tahu soal urusan Ahmadiyah. Mereka konyol mencampuri internal umat Islam yang tengah resah karena penistaan ajaran Islam oleh penganut Ahmadiyah.

Kekonyolan ini mengundang kekonyolan kedua; aksi pemukulan oleh kelompok massa FPI. Kedua kelompok berseberangan pendapat, namun konyolnya, yang diperagakan aksi kekerasan fisik (kasusnya dipopulerkan media massa sebagai peristiwa Monas).

Ini menimbulkan kekonyolan baru; peliputan media massa cetak, internet, dan elektronik secara berlebihan. Semua media, besar maupun gurem melaporkan peristiwa Monas dalam headline mereka setiap hari. Para wartawan, seakan tengah didera wabah “mati angin”, melaporkan peristiwa Monas dari pelbagai aspek setiap hari. Tidak ketinggalan kelompok infotainment, semua menempatkan kasus ini sebagai fokus liputan. Koran dengan pendapatan iklan terbesar hingga tabloid yang “terbit Senin-Kamis” setiap hari mem-“blow-up” peristiwa Monas sebagai headline berhari-hari.

Ini bentuk kekonyolan yang dipamerkan media massa. Demikian pula stasiun teve, mulai dari yang bertabur iklan, hingga stasiun teve yang megap-megap mengais iklan, rame-rame mengulang tayangan peristiwa Monas di layar kaca. Mereka juga konyol, sebab sebetulnya masih banyak peristiwa lain yang patut mendapat tempat terhormat sebagai headline, misalnya dampak kenaikan BBM yang berpotensi memicu krisis ekonomi, nasib korban Lapindo, atau penanganan kasus korupsi.

Karena media massa secara konyol mencurahkan seluruh ruang untuk meliput habis-habisan peristiwa ini, muncul kekonyolan susulan. Yakni reaksi pemerintah yang berlebihan dan tidak masuk akal; Presiden, Wapres, menteri, anggota DPR, hingga Kapolri angkat bicara, bahkan sampai menggelar rapat khusus seakan-akan tengah membahas wabah ganas yang mengancam nasib jiwa seluruh jagat Indonesia.

Reaksi pejabat bisa dimaklumi, karena sudah tabiat mereka; hanya sudi merespon apa-apa yang tengah dipopulerkan media massa. Konyol karena para petinggi dan pejabat negara jadi tampak dungu dan seperti kurang kerjaan saling bersahutan angkat bicara menyoal peristiwa Monas. Mungkin pula mereka antusias demikian karena berharap dengan rame-rame konyol masyarakat menjadi lupa dampak kenaikan BBM.

Cukupkah sampai di sini semua kekonyolan itu? Rupanya belum, karena ada kekonyolan tambahan; sekelompok tokoh lokal tingkat kampung dan kecamatan tidak ingin ketinggalan bersikap konyol dengan mengerahkan pasukan jin dan laskar kebal senjata tajam untuk membubarkan FPI. Soal apa salah dan dosa FPI itu urusan belakangan, yang penting ikut-ikutan serbu, meski tampak konyol. Toh, panutan mereka di pusat juga sudah lebih duluan konyol.

Sementara di jalanan, di kampung-kampung, di pelosok kota, orang masih dengan penampilan seperti sebelum peristiwa Monas terjadi. Mereka kian lusuh, tatapan mata mereka juga semakin hampa akibat didera kesulitan hidup pasca naiknya harga BBM. Demikian pula di Porong, Jawa Timur sana, ribuan pengungsi korban banjir lumpur panas Lapindo semakin tidak mengerti mengapa para pejabat lebih riuh bersahutan membahas peristiwa Monas ketimbang serius memikirkan solusi atas nasib mereka. Rakyat pinggiran, mereka itu, juga bingung mengapa media massa lebih bernafsu mengupas peristiwa Monas. Apakah wartawan telanjur penat memberitakan nasib buruk mereka yang didera pelbagai kesulitan ekonomi?

Sungguh, nyata dan terang benderang benar, sebuah kekonyolan yang direspon kekonyolan lain senantiasa hanya akan menghasilkan bentuk kekonyolan baru, bahkan kedunguan. Ayo, siapa menyusul menciptakan kekonyolan lain? Bersama kita memang bisa sama-sama konyol dan dungu.