Tuesday, March 21, 2006

Membasuh Luka Papua di Layar Kaca

Sebagai peneliti ilmu komunikasi, saya selalu bertanya-tanya: perbedaan apa yang akan terjadi jika stasiun-stasiun televisi kita tidak menyiarkan adegan kekerasan di Abepura (16/3) sepanjang atau sedetail yang kita saksikan?
Tentu, pemilik stasiun, pemimpin redaksi, bahkan jurnalis TV di lapangan bisa mengatakan: ”Ini demi kepentingan publik! Para pemirsa berhak mengetahui apa yang terjadi di Abepura secepat dan selengkap mungkin; kapan perlu siaran langsung.” Siapa yang tercepat atau terlengkap biasanya menambahkan kata-kata ”siaran eksklusif”!
Segera terdapat tiga pertanyaan yang menohok saya amat dalam ketika menyaksikan rata-rata berita televisi tersebut. Pertama, apakah menyajikan hanya sampai adegan lempar-lemparan dan kejar-kejaran antara polisi dan pengunjuk rasa tidak cukup untuk menyampaikan berita bahwa telah terjadi kekerasan yang luar biasa di situ? Jika tidak cukup (artinya dengan sajian sampai adegan kejar-kejaran saja, pemirsa dipandang tidak mengerti bahwa telah terjadi kekerasan, atau berarti pemirsa dianggap luar biasa bodoh), barulah perlu ditayangkan adegan selanjutnya di mana terlihat polisi yang telah terjungkal dihajar dengan ... (saya tidak ingin mengulangnya di sini, walaupun sudah di-blur, adegan-adegan itu masih amat sadis bagi saya).
Manfaat atau mudarat?
Kedua, manfaat apa yang bisa dipetik dari penayangan adegan kekerasan di Abepura sepanjang dan sedetail itu? Dalam diskusi dengan wartawan di Taman Ismail Marzuki, sehari setelah kejadian, saya bertanya dan sekaligus menantang: ”Tolong tunjukkan jika ada satu pihak saja (pun) yang dapat memetik keuntungan dari cara penayangan seperti itu?” Tidak ada satu rekan wartawan pun yang dapat memberi indikasi manfaatnya.
Jelas, penayangan sepanjang dan sedetail itu cuma membawa mudarat! Orang luar Papua, sebagaimana yang saya dengar bahkan sampai ke mahasiswa level master (S2), mulai ada yang membangun stereotip bahwa saudara-saudara kita di sana sangat sadis serta berbagai istilah lain yang lebih keras, misal dikaitkan dengan tingkat pendidikan dan lain-lain. Jangan tanyakan kepada sesama anggota korps polisi atau militer yang jadi korban! Niat membalas adalah naluri alamiah bagi siapa pun di antara mereka yang menyaksikan tayangan semacam itu.
Bagaimana sikap di antara para pengunjuk rasa? Mungkin ada yang menyesal, tetapi mari kita pelajari apa yang terjadi pada peristiwa penyerbuan sekelompok militan Chechnya ke gedung teater, Oktober 2002. Seratus empat puluh orang (termasuk dari kelompok penyandera) tewas dan empat ratus cedera. Tahukah Anda apa komentar para remaja kedua pihak yang diwawancarai ketika hadir di acara pemakaman korban? Remaja dari pihak korban penonton teater menyatakan: ”Jika sudah besar, saya akan masuk tentara Rusia dan akan menghajar para separatis Chechnya itu!” Ungkapan ini pun sudah diedit di sana-sini oleh stasiun TV. Remaja di kalangan penyandera ternyata juga mengatakan: ”Saya tidak sabar menunggu kapan waktunya saya bisa bergabung dengan kolega saya para pahlawan ini dan menjalankan aksi serupa!”
Saya tidak bermaksud menyamakan peristiwa di Abepura dan di Chechnya itu. Tetapi saya ingin menampakkan bahwa akibat pemberitaan televisi bisa seperti itu, pada kedua atau semua pihak! Padahal, sejauh yang berhasil saya amati, stasiun-stasiun TV tidak berhasil mengambil adegan penyiksaan yang detail pada kasus teater Chechnya 2002 dibandingkan dengan kasus Abepura.
”Freedom for”
Pertanyaan ketiga menjadi: apa yang mesti dipertimbangkan televisi-televisi kita ketika terjadi peristiwa seperti itu? Saya beruntung mendapatkan salah satu alternatif jawabannya dari diskusi panel di Budapest, 9 Maret lalu, bertajuk: Who Cares about Television? George Gerbner and the Enduring Legacy of 20th Century Communication Research. Mendiang George Gerbner (25 tahun menjadi Dekan Annenberg School of Communication, Universitas Pennsylvania) merupakan salah satu figur utama dalam menyorot lingkungan budaya, peran media sebagai penyampai cerita, serta apa yang dia gambarkan sebagai happy violence, khususnya di televisi.
Salah satu peserta diskusi, Marsha Siefert (menulis buku Ferment in the Field, bersama Gerbner), dengan baik menggambarkan betapa televisi jika tidak dianalisis dengan saksama dapat menumbuhkan benih atau ragi kekerasan yang tidak lagi memikirkan konteks komprehensif dari sebuah peristiwa.
Jurnalis TV sering lupa bahwa masyarakat tidak mengikuti seluruh seri peristiwa Papua secara komprehensif (seperti jurnalis). Ketika kekerasan pecah, pemirsa mungkin kehilangan konteks frustrasinya warga Papua selama ini karena ketertinggalan mereka dan betapa suara mereka seperti tak pernah didengar secara layak. Pemirsa juga barangkali tak sempat memikirkan betapa para polisi kita bisa saja tidak dilengkapi dengan strategi yang tepat (serta juga peralatan) menghadapi aksi massa dengan tingkat konflik psikologis yang makin tinggi agar tak jatuh korban di kedua pihak secara sia-sia. Pemirsa mungkin hanya terhenti melihat kekerasan yang amat dahsyat dan mulai membangun stereotip berikut kebencian-kebencian.
Sebagai kesimpulan, saya langsung teringat pada apa yang sering disuarakan wartawan senior Jakob Oetama, bahwa ketika membicarakan pers, kini sudah saatnya tidak lagi semata mempersoalkan aspek freedom from, tetapi juga (bahkan menurut saya lebih penting di tengah kecenderungan komersialisasi TV) aspek freedom for. Singkatnya, untuk manfaat apa kita memiliki kebebasan memberitakan kekerasan seperti peristiwa Abepura tersebut? Untuk membuat parah kiprah kita dalam ”Jurnalisme Perang” (lihat laporan War or Peace Journalism in Asian Newspapers, Journal of Communication, Juni 2005)?
Kini setelah itu terjadi, sambil mengheningkan cipta untuk semua korban kekerasan, termasuk para jurnalis yang sedang menjalankan tugas, mari kita sama- sama merenung: ke depan, apa yang bisa kita lakukan untuk membasuh luka-luka kita di Papua melalui layar kaca yang sama?
***
EFFENDI GAZALI Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI, Ikut Aktif dalam Advokasi Media dan Demokratisasi di Papua
Source: KCM Selasa 21 Maret 2006

Monday, March 13, 2006

Freeport dan Rakyat Papua

Di Bawah Gunung Kemakmuran

Pelaut Eropa terperangah melihat pucuk gunung bersalju di khatulistiwa. Saat mulai menjelajah, mereka menemukan emas terhampar di dasar sungai. Inilah awal Papua ditemukan dan menemukan masalah berkepanjangan.
Namun, bagi orang Papua, mereka ada di sana atas kehendak Tuhan. Para pelaut itu menemukan rahasia alam. Gunung bersalju mengingatkan mereka pada areal pertambangan di negerinya. Perut gunung bersalju itu mengandung material bernilai ekonomi tinggi. Itu gunung kemakmuran. Jika dikelola secara tepat niscaya memakmurkan siapa pun yang menguasai.
Penguasa gunung itu orang Papua. Bagi mereka, gunung itu bukan sekadar onggokan material untuk kebutuhan komersial. Mereka membangun nilai-nilai kultural, merumuskan kearifan lokal, dan merajut impian di bawah gunung kemakmuran itu. Ketika mereka memutuskan bergabung dengan NKRI, mereka berharap Pemerintah Indonesia mampu membantu mewujudkan impian mereka.
Apa yang terjadi? Alih-alih membantu mewujudkan impian. Melindungi orang dan alam Papua dari jarahan orang asing pun tidak ditunjukkan pemerintah. Orang Papua nyaris selalu didudukkan sebagai terdakwa atas segala kejadian di tanah mereka sendiri.

Penipuan publik
Tahun 1965-1969, saya hidup di Papua. Masih teringat fisik teman-teman sekolah dasar. Kurus, dekil, berpenyakit kulit, berbaju lusuh, tidak bersepatu. Saya menangis, saat 40 tahun kemudian masih menemukan sosok yang sama. Wajar jika kita bertanya, ke mana 40 tahun sejarah Papua?
Ironisnya, dalam kurun waktu itu kekayaan alam Papua dieksploitasi besar-besaran. Mayoritas hasilnya untuk membangun wilayah di luar Papua. Bandingkan kemajuan Jakarta 10 tahun terakhir dengan nasib Papua 40 tahun terakhir.
Awalnya konsesi pertambangan tembaga 20 tahun mulai tahun 1967. Konsesi itu diperbarui tahun 1991 dan diperpanjang 50 tahun hingga tahun 2041, wilayahnya pun dua kali lipat wilayah awal. Bisa dibayangkan jika alam Papua nan cantik menjadi porak poranda oleh nafsu mengeruk kekayaan alam di sana.
Faktanya, tahun 1973 tiap hari 7.257 ton tailing (limbah industri tambang) dibuang ke Sungai Ajkwa yang menjadi sumber kehidupan suku-suku di sekitar Timika. Tahun 1988 menjadi 31.000 ton tailing dan tahun 2006 melonjak menjadi 223.000 ton tailing per-hari. Kini, jangankan untuk mandi, ikan-ikan di sungai itu mati terkena tailing. Bahkan kebun sagu suku Komoro di wilayah Koperaporka mati.
Mengerikan. Melalui pipa raksasa dari Grasberg-Tembagapura, sekitar enam miliar ton pasir tembaga digerus dan disalurkan sejauh 100 kilometer ke Laut Arafuru, di mana kapal-kapal besar menunggu. Mereka tidak lagi menambang tembaga, tetapi emas. Pakar kimia UGM meneliti kandungan emas di pasir-pasir tembaga yang digerus, dan menghitung enam miliar ton pasir setidaknya menghasilkan enam ribu ton emas.
Mengapa pemerintah tidak pernah jujur menyatakan bahwa PT Freeport Indonesia menambang emas? Ini penipuan publik. Penggunaan nama kota Tembagapura seolah disengaja guna menutupi aktivitas sebenarnya. Wapres Jusuf Kalla menegaskan, yang ditambang adalah emas. Di sidang kabinet terbatas (6/3/2006), Wapres minta kontribusi Freeport ke APBN naik menjadi 300 persen karena kenaikan harga emas di pasar internasional.
Anehnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan, pendapatan kontrak karya Freeport dari pajak dan non-pajak sepanjang 2005 adalah 800 juta dollar AS atau sekitar Rp 7 triliun. Mengapa tak pernah membayangkan berapa yang akan kita dapat jika dikelola sendiri?

Perisai kapitalis
Angka 800 juta dollar AS terlalu kecil buat kita. Lihat compensation (bukan gaji) tiap tahun untuk Chairman of the Board Freeport sebesar 9.509.183 dollar AS; Chief of Administrative Officer 1.756.159 dollar AS; Chief Operating Officer 815.554 dollar AS; dan President Director of Freeport Indonesia 1.641.877 dollar AS. Untuk kompensasi empat pejabat Freeport saja jumlahnya 13.722.773 dollar AS. Bandingkan dengan dana keamanan selama 1996-2004 yang hanya 20 juta dollar AS. Artinya, aparat keamanan kita hanya kecipratan 2,5 juta dollar AS setahun.
Dengan nilai serendah itu, Pemerintah Indonesia dijadikan perisai kapitalis menghadapi rakyatnya sendiri. Kata Menlu RI, berulang kali Pemerintah AS menegaskan, Papua merupakan bagian NKRI. Bagi AS akan lebih repot berurusan dengan Papua sebagai negara mandiri daripada berurusan dengan Indonesia.
Jika Papua berdiri sebagai satu negara, AS berkonflik langsung dengan bangsa Papua. Namun, jika Papua dalam NKRI, Pemerintah Indonesia yang menghadapi segala gejolak akibat pengisapan kaum kapitalis di Papua. Pemerintah AS bisa memainkan dua kartu di sini.
Tengok saja. Saat orang Papua mengais rezeki, menambang tailing di Kali Kabur Wanomen, mereka dihalau secara kasar oleh Satpam PT Freeport dan aparat keamanan Indonesia, mereka ditembak dan jatuh korban. Tidak terbayangkan, yang mereka usir adalah saudara sendiri yang mengais secuil rezeki dari limbah gunung kemakmuran milik kita. Apakah untuk mendapat emas sebesar butir pasir di limbah industri PT Freeport rakyat Indonesia harus kehilangan nyawanya?
Rasa sedih menyergap manakala disadari ada kota modern, Kuala Kencana, dekat Timika, tempat para petinggi PT Freeport bersemayam. Sementara 6-7 kilometer dari kota itu ada rumah yatim piatu Papua yang taraf kehidupannya sama seperti sebelum mereka ”ditemukan”. Dalam radius itu, bisa ditemukan saudara-saudara kita yang masih mengenakan koteka.
Pemerintah seakan bermuka dua terhadap Papua. Kita gerus gunung kemakmuran berdalih kemakmuran negara, tetapi membiarkan saudara-saudara hidup seperti di zaman batu untuk memelihara nilai budaya. Papua adalah kebanggaan NKRI. Wujudkan rasa bangga itu di dada orang Papua. Jangan mereka dipaksa mencari kebanggaannya sendiri.
***
Riswandha Imawan, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (KOMPAS 13 Maret 2006)

Wednesday, January 04, 2006

Kinerja pejabat BI biasa-biasa saja, kok digaji luar biasa

Tatkala kinerja para pejabat pemerintah dinilai memble, yang ditandai lesunya perekonomian (kasus PHK buruh pabrik, ekonomi biaya tinggi, meroketnya suku bunga, masih loyonya rupiah), media massa ramai memberitakan tingginya gaji dan tunjangan Gubernur Bank Indonesia (BI) dan para deputinya. Terkait dengan itu media massa pun membandingkan gaji pejabat BI dengan gaji para pejabat tinggi seperti presiden, anggota DPR, menteri, dll.
Tak pelak, tingginya gaji pejabat tinggi membuat presiden SBY prihatin. Sayangnya keprihatinan SBY bukan karena menyesali semakin besarnya jurang perbedaan gaji pejabat tinggi negara dengan penghasilan mayoritas rakyat yang masih hidup merana bahkan untuk sekadar bisa makan sehari tiga kali. Keprihatinan SBY ternyata dipicu oleh adanya pejabat tinggi negara, yakni para hakim agung di Mahkamah Agung (MA) yang gajinya “hanya puluhan juta”, alias masih di bawah gaji anggota DPR, menteri, dan tentu saja pejabat BI.
Lontaran keprihatinan SBY jadi terasa konyol dan “miss-match” jika dibandingkan kondisi kehidupan rakyat Indonesia kebanyakan yang masih miskin. Kalau beda gaji antar para pejabat tinggi negara sangat besar, logikanya yang bergaji tinggi diturunkan, bukannya langsung bertekad akan menaikkan gaji pejabat yang masih kalah tinggi agar sejajar atau mendekati gaji pejabat lain yang sudah tinggi.
Tantang saja pejabat yang masih merajuk ingin naik gaji: “Kalau mau gaji lebih tinggi, silakan pindah ke tempat lain, jangan jadi pejabat negara”.
Habis itu SBY bisa buka lowongan kerja di koran guna menjaring calon pejabat tinggi negara yang mau digaji cukup besar tapi tidak jor-joran seperti pejabat BI. Saya yakin, dari 220 juta rakyat Indonesia masih banyak orang jujur, yang jauh lebih pandai dibanding pejabat sekarang, namun lebih punya nurani dan bisa menerima digaji puluhan juta (bukan ratusan ribu perak).
Bukan apa-apa, kinerja pejabat tinggi negara juga biasa-biasa saja. Contohnya, prestasi Gubernur BI dan para deputinya yang menurut saya tidak terlalu istimewa. Buktinya, nilai rupiah sejak krisis moneter 1997-1998 lalu tidak juga beranjak dari kisaran Rp 10.000 per dolar AS. Inflasi malah sudah dua digit. Suku bunga juga terus saja merangkak tinggi pertanda ekonomi masih sulit.
Apalagi gaji besar juga tidak ada jaminan tidak melakukan korupsi. Bukankah pengadilan kita pernah memproses kasus korupsi yang dilakukan para pejabat tinggi bergaji jangkung (tinggi)?
***
Abah Effi