Friday, February 22, 2008

Celana Melorot

Ini berita dari Amerika Serikat, negara yang dikenal sangat liberal. Kota Alexandria dan Shreveport dua kota di negara bagian Louisiana, AS membuat peraturan baru: melarang remaja putra dan putri mengenakan celana melorot di bawah pinggang yang memperlihatkan (maaf) celana dalam mereka.

Peraturan itu, tulis Kantor Berita AFP Prancis pekan lalu, diterima secara bulat. Larangan ini lahir setelah warga memprotes gaya berpakaian para remaja, yang berjalan dengan celana melorot di bawah pinggang itu. Gaya tersebut, menurut Konselor Kota Alexandria, Louis Marshall, tidak sopan.

Louis Marshall, yang hidup dalam tradisi demokrasi, beruntung. Pelarangan itu sama sekali tidak menuai protes. Tidak ada aktivis yang menyatakan peraturan tersebut melanggar hak asasi manusia, antipluralisme, dan konservatif.

Bayangkan jika di Indonesia, negara yang baru saja menghirup udara demokrasi. Louis Marshall akan dikecam dan dianggap telah membunuh kebebasan individu untuk berkreasi. Keputusan pelarangan tersebut bahkan akan diejek sebagai 'campur tangan pemerintah terhadap hak pribadi warga negara'.

Ini yang terjadi di Indonesia. Pada Desember 2004, seratus hari pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kegusarannya atas tayangan televisi. Melalui Menko Kesra Alwi Shihab ketika itu, Presiden yang kuat memegang norma agama dan sosial itu meminta media televisi untuk tidak mempertontonkan pusar perempuan. "Itu sangat mengganggu," kata Presiden saat itu.

Pernyataan SBY itu baru sebatas permintaan, belum menjadi keputusan. Namun, tidak terlalu lama berbagai reaksi dari kalangan aktivis perempuan bermunculan dalam diskusi-diskusi dan tulisan di media massa. Mereka antara lain menyatakan, SBY telah melanggar prinsip demokrasi, terhadap hak asasi, dan kebebasan individu berekspresi.

Mereka menentang keras pernyataan SBY itu. Menurut mereka, apabila negara dibiarkan mengatur hak pribadi warga negara, di antaranya soal pusar tadi, maka demokrasi dan kebebasan individu untuk berkreasi, pun mati. Itu pulalah yang menjadi alasan mereka menentang Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi. Apabila disahkan, maka RUAPP tersebut akan mengatur tubuh perempuan demi kepentingan politik konservatif.

Alexandria dan Shreveport, dua kota di negara bagian Louisiana, AS, telah memberlakukan keputusan, yang melarang remaja putra dan putri mengenakan celana melorot. Keputusan itu disambut baik warga, yang sejak lahir telah menghirup udara demokrasi. Tidak ada yang protes dan menyebutnya sebagai antikebebasan berekspresi, antipluralis, konservatif, dan pertanda matinya demokrasi.

Demokrasi, sistem yang memiliki berbagai kelemahan, sesungguhnya tidak mati hanya karena pelarangan celana yang melorot dan pelarangan memperlihatkan pusar. Pandangan yang berlebihan terhadap demokrasilah apalagi membenturkannya dengan nilai-nilai di masyarakat, nilai-nilai agama, dan menyebutnya sebagai konservatif yang memungkinkan sistem itu kehilangan esensinya.

Di Alexandria dan Shreveport, remaja-remaja tidak lagi mengenakan celana melorot. Mereka tidak merasa menjadi konservatif apalagi antidemokrasi. Di Indonesia, para remaja bebas membiarkan (maaf) celana dalamnya menyembul. Inilah yang disebut para aktivis sebagai kebebasan berekspresi. Dan, para aktivis itu sangat takut demokrasi mati hanya karena remaja menutup pusarnya.

Oleh: Asro Kamal Rokan
source: www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=305781&kat_id=19

Menahan diri, bisakah

Bersabar. Sungguh sebuah kata yang mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan justru ketika kita memerlukannya. Itu yang saya alami Rabu petang (20/2) pas azan mahrib berkumandang.

Waktu itu semangat menggebu dipicu rasa kangen pada seisi rumah mendadak berubah menjadi rasa lemas berbaur dengan emosi karena dua buah hati tengah asyik di depan teve. Entah kenapa petang itu kedua anak melanggar SOP di rumah kami, yakni dilarang menyalakan teve pas azan sekaligus tidak ada tayangan teve sesudah maghrib kecuali hari libur.

Merasa paling benar, lantas keduanya diberi peringatan keras agar segera mematikan pesawat teve. "Jika tidak langganan Astro diputus, tidak ada acara nonton teve untuk waktu yang akan diatur kemudian," begitu kira-kira pernyataan yang terlontar malam itu.

Reaksi keduanya?
Si Aa langsung memasang ekspresi muka masam seraya beranjak ke kamar dan langsung menelungkupkan badan di kasur. Untung tidak ada aksi banting pintu seperti biasa kalau dia lagi ngamuk. Sementara si kecil masih bertahan di depan teve dengan dalih "habis ini udah kok bah."

Melihat "aksi pembangkangan" emosi pun meluap, dan tak tetahankan bentakan pun terlontar.
Astaghfirullah, lagi-lagi emosi tak terbendung. Si adik melengos dan ikut-ikutan kakaknya masuk kamar. Refleks tangan ini mematikan teve, mencabut kabel dari steker, dan melempar remote control ke keranjang cucian.

Persoalan beres? Rupanya tidak. Karena kini saya berhadapan dengan dua jiwa belia yang ngambek dan tidak habis pikir "kok nonton sebentar 'aja nggak boleh...", begitu kira-kira dalam benak Aa dan dik Frida.

Tidak mudeh memang menghadapi situasi ini. Seperti disinggung di atas, kesabaran mudah diucapkan, diyakini kebenarannya, namun justru sangat tidak mudah untuk melaksanakannya.

Alhamdulillah, keadaan tidak berlarut-larut. Keesokan pagi harinya Aa dan dik Frida bangun pagi dengan ceria, pergi mandi, sarapan segelas susu hangat, dan berangkat ke sekolah dibonceng ojek abah...

Kata Ummi Nur, sore sepulang sekolah kedua anak menanyakan perihal larangan nonton teve malam hari selain hari libur. "Teman Aa ada yang boleh nonton sampai malam kok Mi," kata si cikal Haidar.

Untungnya Ummi Nur dengan bijak menjelaskan, "Tentu saja, bisa jadi di rumah teman Aa boleh, masalahnya peraturan di masing-masing rumah kan bisa berbeda," kata Ummi. Ada yang sepakat membatasi acara nonton teve, ada pula yang membolehkan teve menyala sepanjang hari dan malam meski sedang tidak ditonton sekalipun.

Subhanallah, si Aa menerima penjelasan panjang lebar Umminya. Buktinya, wajah Aa, apalagi dik Frida, kembali sumringah tatkala abahnya pulang Kamis petang harinya. Alhasil, emosi yang sempat meruyak, kemarahan yang pernah tak tertahankan sebetlnya sia-sia jua. Toh, dua permata hati masih menyisakan ruang untuk sebuah logika berupa penjelasan dari kedua orangtuanya. Hal lain, mereka tetap saja polos dan pandai memaafkan abahnya yang suka tidak sabaran, mudah emosi...

Ya Rabb, masukanlah hamba ke dalam kelompok mereka yang selalu mengutamakan kesabaran dalam segala hal. Sesungguhnya engKau senantiasa bersama orang yang sabar...

Tuesday, February 12, 2008

"Idung Guede..."

"Eh..., katanya teh Frida, dik Aya hidungnya guede? bener nggak sih?" Coba 'aja tanya Aa Zen, barangkali bener.

Tapi kalau tanya Aa Zein kayaknya susah deh... Maklum saja, si Aa itu kalau yang tanya adiknya paling juga jawabannya.. "Tauk deh..." atau paling banter cuma manyun, sambil ngomel "..dasar cemplu, gitu aja ditanyain...".

Cuek memang si Aa ini. Meski begitu Aa setuju hidung dik Aya ga kayak hidung Petruk. Baru denger Petruk? Itu loh tokoh spesialis dagelan di kisah pewayangan tanah Jawa. Biasanya Petruk memerankan sosok bingungan, agak sok tau, tapi dikisahkan jujur. Katanya sih...kata pak dalang ki Manteb Utomo Sosrojoyo Nincak Sukro Ngaborolo Beak Kedjo Saboboko...

Yang jelas, kata Matra'i, Allah sungguh sangat piawai dalam merencanakan penciptaan setiap mahluknya termasuk yang ada di muka bumi. Dalam hal penciptaan hidung contohnya. Bayangkan, andai hidung diciptakan dengan lubang menghadap ke atas, misalnya, dipastikan setiap saat dunia akan gaduh karena suara orang bersin bersahut-sahutan, tanpa henti.

Gede-cilik, pesek-mancung, bulet-gepeng, selama masih memiliki hidung yang berfungsi baik sebagai alat utama penciuman dan pernafasan manusia sejatinya patut bersyukur. Lha, ketimbang ga punya hidung?

Alhasil, semuanya menjadi bermakna tatkala kita mampu mensyukuri segala sesuatu pemberian sebagai nikmat dariNya, termasuk hidung gede, yak dik Aya?
Nggih, sumuhun atuh abah, aya aya wae....