BICARA carut marut dunia peradilan kita sungguh tidak terlalu sulit. Tengok saja perkembangan kasus dugaan suap Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan dan dua hakim agung lain dalam perkara yang melibatkan Probosutedjo, pengusaha klien penganut ersatz capitalism yang termasuk kroni terdekat Soeharto.
Ibarat ikan, kalau kepalanya busuk maka bagian lain, termasuk badan dan ekor pun pastilah busuk pula. Demikian yang terjadi dengan dunia peradilan Indonesia. Bagaimana mau berharap kepolisian, pejaksaan, pengadilan, pengacara bersih sementara institusi tertinggi mereka yang ingin mengecap keadilan di negeri ini justru belepotan dengan kasus korupsi.
Sejatinya kasus suap di MA baru sebatas dugaan, yang telah menjadi tersangka baru si penyuap, yakni Harini sang pengacara Probosutedjo yang notabene mantan hakim agung juga. Kasus bergulir dalam penanganan KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). Logikanya sederhana, anak SD pun tidak akan kesulitan memahaminya: kalau ada yang jadi tersangka menyuap, pasti ada pula tersangka yang disuap. Masalahnya, yang disuap ya para juragan keadilan yang bercokol di MA alias Bagir Manan cs. Sudikah Bagir Manan dan anak buahnya rela diperiksa KPK guna membuktikan dirinya dan lembaga yang dipimpinnya memang bersih dari korupsi? Sebetulnya jawabannya belum jelas. Akan tetapi naga-naganya sang juragan MA belum siap beradu argumen dengan KPK soal dugaan suap. Buktinya, alih-alih memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa, Bagir malah mengumpulkan para sekondannya di MA, dan memutuskan menolak memenuhi panggilan KPK dengan alasan apa yang akan ditanyakan KPK belum jelas. Tidak hanya itu, naluri primitif "esprit de corp" pun mewujud melalui lontaran pernyataan sesama hakim yang tergabung dalam wadah Ikahi (Ikatan Hakim Indonesia), bahwa KPK tidak berhak memeriksa hakim agung di MA. Ulah KPK, kata Ikahi, merongrong kewibawaan MA. padahal, MA adalah lembaga sakral yang tidak mungkin melakukan perbuatan tercela. Makanya Ikahi menolak KPK memeriksan para hakim agung di MA.
Coba, kalau hal ini dianggap sebagai kebenaran, akan jadi apa nasib upaya penegakkan hukum di Indonesia sementara lembaga yang mestinya berada di garda depan dalam upaya penegakkan keadilan dan pemberantasan korupsi justru kesulitan mencari jurus berkelit dari dugaan kasus suap yang menderanya.
Ini baru sebatas MA, bagaimana kalau kita kupas sepak terjang Kepolisian? Bagaimana pula kalau KPK menyisir praktik kotor para jaksa di Kejaksaan?
Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang, pasti jawabannya hanya gelengan kepala tanda tidak mengerti. Alhasil, sungguh bukan perkara mudah menegakkan hukum dan keadilan di sini. Karena ya inilah Indonesia, negeri serba ajaib (the impossible country).
***
Abah ef 15 Nov'05